Sweet Chessy from Holland Part 3 ‘Kok Orang Indonesia Gini Yah???’
![]() |
f/Pribadi |
Kalau saya atuh tak maksud gitu, Uda penulisnya
juga nggak. Kan nggak selalu mengkritik itu menjatuhkan orang lain. Tapi
adakalanya kritik adalah cara terbaik untuk membuat orang sadar dan merubah
diri menjadi lebih baik toh. Nah,
kebetulan dari sebelumnya ternyata dibalik hegemoni, gemah limpah jumawah tanah
Indonesia kita ini, kita masih kalah dari negeri yang bahkan mereka daratannya
lebih rendah dari lautan. Kita nggak mau kalah mulu kan. Yo wes, mari melihat apa yang nyata dan menerima diri kita apa
adanya sembari merubah. Pun ada yang baik pada bangsa kita pasti banyak
dibandingkan mereka, kalau yang itu udah wajib sama kudu kita pertahankan yah.
Ops,
tapi postingan kali ini kok udah ceramah dari awal yah (emang aku Mama Dedeh)...
Haiiiiiii....
postingan kali ini bagi kalian yang sudi
mampir (atau nantinya ini jadi arsip pribadi karena cuma aku yang baca, yo wes itu tujuan utama, menjadikan menulis dan membaca itu candu, gapapapa lah
yah). Seng fokus neng,.... Tarui lah lai
(lanjut lah lagi/Minang).
Postingan
kali ini sebenarnya bagian dari dua bab, yang pertama judulnya Indonesia
Hipokrit dan yang kedua Komunal vs Individualis. Chek it out!!!
Indonesia Hipokrit
Gimana rasanya kalau kita ketemu orang satu kampung di
tanah rantau??? Kalau aku sih pastinya senang. Bisa nostalgia deh soal kampung
halaman. Dapat teman baru yang rsanya kayak keluarga aja. Padahal kalau
dikampung kita nggak gituh amat yah. Kedaerahan dan membanggakan daerah itu
wajar sih. Ketemu orang yang berasal dari tempat yang sama dan senang itu
sewajarnya manusia. Nah, kalau ketemu orang satu negara di negara luar
gimana??? Kalau aku mah nggak kebayang lagi bahagianya. Serasa ada orang yang
bisa diajakin lepas dari ribetntya komunikasi dengan bahasa asing. Plus, temen kongkalingkong
untuk gosipin orang tanpa mereka tahu artinya. Hehehhe....
Tapi, yang satu ini, cewek dalam buku
yang dicertikan Yulhendra dengan ciri Asia dan dikonfirmasi dari Indonesia udah
nggak ngerasa gituh loh. Dikiranya bakal antusias, eh cuma mesem-mesem adem
ayem dan beranjak pergi. Usut punya usut tuh cewek keturunan Indonesia yang
sudah menetap dan menjadi warga negara Belanda. (Tapi kan ketemu orang yang dari tanah nenek moyang harusnya seneng
kan yah). Kok orang keturunan Indonesia warga Belanda satu ini kayak gini
yah???
Nggak cuma satu cewek itu aja. Dalam
kesempatan lain Yulhendra bertemu dengan ibuk-ibuk yang lagi ngomong bahasa
Indonesia didalam salah satu moda tranportasi umum Belanda. Ketika Yulhendra
masuk dan mendekat, ketahuan deh kalau Yulhendra ini orang Indonesia (dengan
ciri fisik kita, kuning langsat atau coklat beda banget sama Belanda yah). Pas
udah deket ini ibuk-ibuk itu malah ngomong bahasa Belanda tanpa memandang atau
menyapa saudara setanah airnya. Hayoooo kenapa loh buk???
Bukannya dapat senyum sumbringah yang
sama yang ia lempar ke ibuk-ibuk paruh baya itu. Sih ibuk malah natap angkuh.
Pas
yulhendra pergi ke WC, nah dia ngumping omongan ibuk-ibuk itu yang kedengaran
dari WC pakai bahasa Indonesia lagi. Pas Yulhendra keluar WC, mereka pakai
bahasa Belanda lagi. Jadi deh kutipan ‘Saya
merasa mereka seolah asing, bahkan lebih asing dari orang Belanda sendiri’.
![]() |
f/Pinterest |
Lucunya, ornag –orang seperti itu bahkan ngomong
Belandanya juga masih belepotan. Kalau di pikir pikir lucu juga orang orang
Indonesia yang sok Belanda seperti itu. Seberapa pun susah mereka
menyembunyikan jati diri leluhurnya, tetap saja warna kulit dan gen tidak bisa
didustai. Mau dioperasi sekalipun, hati mereka tahu bahwa sebenarnya di dalam
tubuh mereka mengalir darah Indonesia. (hlm 110-111)
Hayoooo!!!
Komunal vs Individualis
Pernah kenal Hofsede nggak??? Geert
Hofsede. Aku mah kenalannya di literatur akuntansi manajemen versi english, dia ngomong soal budaya Timur
dan Barat, dan dipakai dalam penelitian akuntansi perilaku atau akuntansi
manajemen. (So, karena aku tertarik bangetsss sama itung-itungan, yang bagian
ini kebetulan nggak ada itung itungan sama sekali penelitiannya tapi deskriptif
angka-angka dalam nilai budaya.... Nah loh... ngomong ngelantur lagi). Yang penting
aku kenal Hofsede. Temen-temen (yang baca nih) aku kenalin sama Hofsede dari
buku ini lah yah. :D
Jadi si Hofsede ini (bapakku lain
bapak... ) peneliti asal Belanda yang pernah mengelompokka budaya dalam
berbagai dimensi. Salah satu dimensi
budaya yang dia pakai untuk menggambarkan antara budaya kita, orang timur
dengan budaya orang barat adalah dimensi komunal dan individualis. Orang Timur
punya kebiasaan tinggal dan hidup berkelompok, mempertimbangkan kepentingan
bersamaa tas kepentingan sendiri, masuk ke dalam dimensi komunal. Sebaliknya,
orang Barat yang lebih independen, tidak terintegrasi dengan kelompok, dan
lebih mengurus diri masing-masing, masuk ruang individualis
Budaya
collectivism yang disebutkan oleh
Hofsede ini kebawa kemana-mana walaupun itu dinegeri orang yah. Karena penulis
waktu itu tinggal di tengah kelompok orang Indonesia jadilah kayak merasa di
Indonesia. Segala sesuatu urusan pasti di gotong royongin, buat yang baru
datang pasti kebantu banget dengan suasana kekeluargaan bangsa kita. Salut!
Tapi,
sayangnya cuma sementara keakraban itu terjalin. Berikutnya yang terjadi adalah
kebiasaan lama orang Indonesia, yakni ngerumpi dan ngegosip. Masing-masing orang
mulai masuk dalam kelompok kecil dan membicarakan kelompok yang lainnya.
Praktis, ini membuat perpecahan dalam tubuh warga Indonesia di tanah asing
tersebut.
Impact-nya
mulai berkurang kebersamaan dan kebiasaan kumpul-kumpul (yang selalu
mendatangkan keberkahan mahasiswa Indonesia karena banyak masakan gratis menu
Indonesia). Sebab lainnya adalah tumbuhnya rasa iri, cemburu, ingin menang
sendiri, serta usil dengan urusan orang lain. Kalu ditilik-tilik semuanya
bermula dari kebiasaan begunjing sih. Ini budaya Indonesia yang buruk banget
dan merusak kerjasama tim, begitu kurang lebih kata orang Belanda tentang perangai
kita yang satu ini.
Dan
kalau kita mau jujur sama diri sendiri nih. Nyadar nggak sih kalau budaya
berkelompok kita itu sebenarnya aneh. Kalau kata guru SD, budaya berkelompok
kita kayak semut, saling tolong menolong mengumpulkan makanan dan rempah-rempah.
Artinya kita saling tolong menolong dalam menyelesaikan urusan, sehingga ini
menjadi kebiasaan dan kekuatan yang mempersatukan bangsa ini, atau sebut aja
Bhineka tunggal Ika.
Tapi
kalo dibilang nih yah, budaya berkelompok kita ini demi persatuan ternyata
rapuh loh. Persatuan hanya slogan dalam tataran politik. Gimana mau klaim
bangsa yang bersatu kalau tiap hari ada aja berita kerusahan? Gimana mau bilang
bersatu kalau jurang sikaya dan simiskin ambulradul. Hukum kita pun masih
runcing kebawah dan tumpul keatas. Orang masih cenderung melihat orang lain
dari siapa bapaknya, bukan siapa dan apa kemampuan orang tersebut. Nah loh,...
katanya persatuan.
Coba
kita bandingin sama budaya orang barat yang katanya individualis. Orang barat
justru lebih adil dalam kehidupan bermasyarakat. Emang sih mereka nggak gotong
royong, bukan nggak mau ngebantu. Tapi membersihkan fasilitas umumkan udah
tanggungjawab pemerintah. Betul juga sih anak-anak ninggalin rumah pas umur 18
tahun, tapi kan tujuannya untuk kemandirian bukan mengabaikan orang tua mereka.
Individualis,
orang Belanda—dan Barat pada umumnya – bukan bermakna mereka tidak peduli
dengan yang lain. Individualis bagi mereka adalah kemandirian, kebebasan
menentukan hidup tanpa dipengaruhi oleh keluarga besar atau kelompok, dan
memandang orang dari siapa dirinya dan pencapaiannya bukan siapa dibelakangnya.
Jadi,
orang Indonesia kok masih mau gini yah???? :D
End: 12 February 2018
End: 12 February 2018
Komentar
Posting Komentar