Pemuda Memberi Tanpa Balas Kasih #PemudaMendesa Yulia Eka Sari for Anti Corrupttion Youth Camp 2017
Matahari tidak bersinar terlalu terik ketika saya
mengunjungi Koto Gadang, Agam, Bukittinggi, Sumatra Barat pada 11 November 2017
lalu. Koto Gadang adalah salah satu desa yang menerima dana desa sesuai dengan
Undang-Undang Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 2014 Tentang Desa yang telah direvisi menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015.
Kala
itu waktu baru menunjukkan pukul 16.30 WIB, waktu sore yang
biasanya digunakan oleh penduduk desa untuk rehat dari pekerjaannya dan
berkumpul untuk mengobrol diwarung, maupun bermain dengan anak-anak. Tapi tidak
demikian yang saya dapati di Koto Gadang. Desa yang melahirkan tokoh-tohoh besar
seperti Agus Salim, Rohana Kudus tampak tidak
seperti desa yang melahirkan
pemuda-pemuda yang menjadi tokoh besar.
![]() |
Sulaman Kapalo Samek (google.com) |
Saya menjadi tidak yakin dengan eksistensi Sulaman Suji Cair dan Sulaman Kapalo
Samek yang telah mendunia itu. Apakah desa yang sepi ini masih melahirkan
tokoh-tokoh besar dan mewarisi budaya tradisionalnya. Tidakkah mereka
memanfaatkan dana desa untuk kepentingan
kehidupan mereka kedepannya. Berbagai pertanyaan bercabang-cabang dikelola saya. Meminta untuk segara dijawab.
Dalam perjalanan saya di Koto Gadang, memang masih ada yang mempertahankan budaya serta
kesenian yang dimiliki oleh Koto Gadang. Yakni Yayasan Amai Setia, sebuah
yayasan yang lahir 102 tahun yang lalu. Didirikan oleh Rohana Kudus, jurnalis
wanita pertama di Indonesia. Kini yayasan tersebut dikelola oleh Mahnidar (72)
beserta beberapa orang stafnya.
Mahnidar
sejak muda sudah mulai membuat
kerajinan. Ia sempat bertemu dengan Rohana Kudus semasa hidupnya. Hingga usianya
menjelang renta, ia masih bertahan di Amai
Setia. “Dulu pernah keluar dari yayasan, tapi orang minta kembali,
karena tidak ada anak muda yang meneruskan,” ujarnya Sabtu (11/11/2017).
![]() |
Mahnidar (72 tahun) pengurus Yayasan Amai Nan Setia (f/Eka) |
Itupun
hanya pemuda penduduk asli yang bisa membuatnya, sementara pemuda pendatang di
desa tersebut tidak punya kepandaian. Padahal lebih dari 70 persen penduduk
Koto Gadang adalah pendatang.
Sebenarnya
ada upaya dari yayasan untuk mensosialisasikan dan meneruskan kesenian ini menurut Mahnidar.
Hanya saja dukungan dari desa kurang. Minsalnya untuk renovasi yayasan yang
seharusnya sudah dilakukan dua tahun lalu tapi juga tidak dilakukan. “Yayasan
masuk ke aset nagari (desa), tapi untuk membenahi yayasan kami mencari uang sendiri,”
ungkap Mahnidar. Pernyataan tersebut membuat saya bertanya, apakah tidak ada
dana desa yang dikucurkan untuk hal tersebut. Bukankah salah satu poin dari
dana desa adalah pengembangan budaya dan tradisi penduduk setempat.
Hal
itu membuat saya melangkahkan kaki menuju kantor walinagari atau kantor desa. Vivi
Susanti
(32), Kassi Perencanaan Nagari Koto Gadang mengatakan bahwa dana desa tidak ada
diperuntukkan untuk hal tersebut. “Yayasan itu indenpenden, memang mereka asset
nagari. Tapi mereka harus mengurus sendiri terkait yayasannya,” kilah Vivi saat
ditanya tentang dana desa untuk yayasan.
Sepenggal
cerita dari perjalanan saya tersebut menjadi keprihatinan. Apakah desa yang
lain di Indonesia juga demikian. Jika ya, tentu saja Indonesia kaya budaya,
ragam bahasa ini hanya hadir menjadi dongeng untuk generasi dimasa depan. Apa yang
seharusnya saya lakukan sebagai pemuda untuk mencengah hal tersebut.
Jauh
beratus meter dari Koto Gadang, saya
mulai mengilhami jawaban untuk pertanyaan tersebut. Adalah di Kampung Dago Pojok, Bandung, salah satu kampung di
jantung kota Bandung yang pada mulanya digerus oleh modernistas dan dihadapkan
dengan kompleksnya permasalahan desa di kota dibandingkan dengan desa di
kabupaten. Namun, Dago pojok punya solusinya. Adalah kehadiran Ahmad Jabrail
yang mengubah permasalahan tersebut menjadi solusi yang kreatif.
Ahmad
Jabrail me-launching Kampung kreatif Dago Pojok pada 2011 lalu. Ia
mengembangkan sentra kesenian dengan berbagai bentuk kerajinan tangan di Dago
Pojok. Mulai dari batik, kriya, wayang, dll. Menurut Ahmad Jabrail yang
terpenting dalam pembangunan desa adalah kepedulian dan kesadaran bersama
masyarakatnya, terutama kaum muda.
“Disini kalau untuk Musrenbang, tidak hanya camat dan lurah tapi semua
komponen masyarakat lainnya, terutama generasi muda ikut berparisipasi,” ujarnya,
Kamis (7/12/2107).
Perkataan
Ahmad Jabrail terbukti dengan beberapa sentra kerajinan tangan seperti batik
dan puzzle dikelolah oleh pemuda untuk operasionalnya. Ini sebuah bukti kepeduliaan
generasi muda di desa tersebut. Agaknya ini yang tidak berlaku di Koto Gadang
dan patut menjadi contoh bagi semua desa di Indonesia.
Bagaimana
pemuda Kampung Dago bisa menjadi sadar dan peduli dengan desanya tidak luput
dari peran Ahmad Jabrail dalam merangkul pemuda yang ada disana. Awalnya
memang pemuda dihadapkan pada arus globalisasi yang juga melanda desa tersebut.
Namun, Ahmad Jabrail mulai mendampingi dan memberikan solusi atas permalasahan
mereka tersebut. Bahwa tanah, air dan budaya adalah hal yang tidak boleh dijual
seperti apapun kondisi ekonomi masyarakatnya. Hal tersebut harus dijaga demi
menjaga desa itu sendiri.

Jika ditarik benang kebelakang, tiada salah pemuda dari Koto Gadang. Karena mereka melakukan hal tersebut karena alasan ekonomi dan kurangnya edukasi. Hanya saja, pemerintah di Koto Gadang kurang memperhatikan tingkat ekonomi dan kebutuhan mereka. Mungkin saja, jika ada Ahmad Jabrail dan pemuda yang memiliki kesadaran seperti di Kampung Dago Pojok. Koto Gadang akan menjadi sentra desa yang kreatif dan leih maju lagi.
Solusinya
tentunya diharapkan adanya peran pemerintah dalam memberikan pendamping yang
lebih banyak untuk desa, tidak hanya satu atau dua orang dijadikan sebagai
pengawas desa saja. Tapi lebih ditekankan pada edukasi dan kebersamaan menjalani proses dengan
masyarakat dan pemuda desa adalah hal paling penting dilakukan oleh pemerintah.
Karena bukan uang yang mengubah dunia, tapi pemikiran dan kesadaran kecil untuk
berubah. Semoga saja UU yang baru direvisi dua tahun lalu terkait dana desa
tidak hanya menjadi proyek UU dari pemerintah, tapi juga disertai dengan
pelaksanaan. Seperti yang dilakukan oleh Ahmad Jabrail dan pemuda Kampung Dago Pojok
yang memberi pada desanya tanpa balas kasih, sehingga mereka menjadi warga yang
bermartabat dengan kesadaran mereka sendiri.
#ACYC2017
#INTEGRITY
Alhamdulillah karya meraih Juara I Lomba Blog Antikorupsi ACYC 2017 :D
#ACYC2017
#INTEGRITY
Alhamdulillah karya meraih Juara I Lomba Blog Antikorupsi ACYC 2017 :D
Kereeennnn kereeen
BalasHapusMantap 😁
BalasHapus