Sweet Chessy from Holland Part 2 ‘Dunia Tanpa Kelas: Tiada Jurang Kaya dan Miskin di Negeri Ini’



f/Pinterest


            Kalau nggak salah saya pernah dengar, kalau dunia itu sebenarnya tanpa kelas loh. Terkesan klise sih bagi saya, juga  sebenarnya saya terkesima dengan gabungan kata-kata tersebut. Bagaimana tidak, dunia tanpa kelas berarti kita bisa belajar dimanapun. Nggak Cuma di sekolah. Plus pesan lainnya bahwa belajar itu nggak ada habis-habisnya yah. Jadi saya harus balik mikir lagi, hehhehe kalau setamat sekolah dan kuliah bukan berarti proses pembelajaran itu berakhir. Jadi jangan hindari belajar deh.
            Oh iya ngelantur. Itu kan menurut saya yah. Dipostingan kali ini tentunya yang mau dibagi  dari sudut pandang penulis buku, Chessy Notes from Holland. Diawal bagian tujuh ini Yulhendri mengawali dengan:

The Nedherland has one of the narrowest income gaps between rich and poor in Europe, according to new reseach from the national statistics office CBS (DutchNews.nl, November 2012)

            Dan ceritanya diawali dengan ‘Bungkus Sendiri Belanjaanmu!’. Maksudnya ini judul apa yah??? Jadi ceritanya ketika Yulhedra sampai di Belanda hal pertama yang ia lakukan adalah belanja, so, pasti rendang dari rumah tak cukup dong semasa hidup di Belanda. Perlengkapan harian untuk makan dan mandi-cuci-kakus pun harus dipenuhi. Apalagi yang paling penting beli beras. Dari tempat tinggalnya di Reitdiepstraat (saya nggak tahu ini dimana, semoga saja kita bisa menginjakkan kaki disana suatu saat nanti, Amiiiin), ia naik bus menuju pusat belanja di Utrecht Central.
Sesampainya disana ia berbelanja ke Hoog Catherjine pusat perbelanjaan modren disana.  Bangunannya besar dan mewah. Salah satu sayap bangunan terintegrasi dengan terminal angkutan umum, karena berada di atas stasiun bus dan kereta api. Mereka yang membawa banyak belanjaan cukup turun satu lantai untuk bisa sampai ke terminal bus (mempermudah banget yah).
Nah, menariknya ketika Yulhendra selesai membayar belanjaan ia. Ketika kasir selesai menjumlahkan dan uang telah diberikan. Sebagaimana kemakluman di Indonesia, Yulhendra menunggu belanjaan dibungkuskan oleh kasir. Sedangkan si kasir yang melihat barang masih bertumpuk diatas meja malah balas menatapnya. Tatapannya seolah berkata “Hei kami sedang menunggu!” Tatapam sama juga dari pembeli yang menunggu antrean  di belakang. Akhirnya teman Yulhendra berkata bahwa ‘Keluarkan kantongmu dan bungkus barang belanjaanmu sendiri’.
Ternyata pembeli lain pun melakukan hal yang sama. Mereka tanpa malu-malu mengeluarkan kantong belanjaan yang telah dibawahnya dari rumah dan membungkusnya sendiri. Sementereng apapun gaya orang dan sebanyak apapun belanjaannya (sumpah waktu baca ini paling berkesan bagi saya). Mereka melayani diri sendiri. Kasir hanya menghitung harga barang dan menerima uangnya.
Kalau di negara kita mah, pembeli adalah raja yah. Sehingga untuk urusan bungkus- membungkus yang sebenarnya kita bisa sendiri malah kasir yang membungkuskan. Kadang untuk mengangkat banyak belanjaan kita juga membebankannya ke pegawai swalayan.  Kalau di Belanda selain bungkus sendiri, mereka pembeli juga asyik mengobrol dengan kasir. Dari obrolan mereka itu lebih dari hanya sekedar komplain barang rusak dan harga.
Saya pikir Yulendra tidak bermaksud membandingkan budaya kita dengan mereka dan mengatakan kita yang salah. Mungkin saja defenisi pembeli adalah raja berbeda dengan di negara kita. Mungkin defenisi pembli adalah raja bagi mereka adalah dnegan menjual barang yang berkulitas (bukan yang kadarluarsa tetap dijual). Tapi kalau ada hal baik kenapa kita tidak mencontoh, walaupun itu dari negara lain. Sepertinya ruang tanpa kelas dari kasir ini. Ketika kita membungkus barang kita sendiri, bukankah berarti kita meringankan beban kasir tersebut (walau kita nggak tahu SOP mereka gimana yah), tapi apa salahnya melayani diri sendiri atas apa yang bisa kita lakukan. Dan lagi apa salahnya juga mengobrol singkat dengan kasir. Seolah kita menjadikan dunia tanpa kasta. Karena memang demikian dunia, semua oeang berdiri setara di muka bumi semesta. Tidak hanya kita bisa bilang kalau di Indonesia toleran dan lain-lain, but no in  fact.

Jurang  Kaya dan Miskin
             Berbicara dengan kasir di swalayan ternyata tidak hanya sekedar obrolany ang tanpa makna. Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa oborolan tersebut juga memungkas habis kasta antara yang lebih tinggi antara pembeli maupun sih kasir. Tiada yang lebih tinggi, keduanya sama. Orang-orang tersebut seakan menghormati profesi apaapun yang dilakukan seseorang, seakan-akan mereka tidak hanya memaknai bahwa hidup selalu membutuhkan orang lain, tapi terwujud secara nyata.
            Agaknya, dinamika tiada kasta ini juga berlaku di kehidupan sehari hari lain masyarakat Belanda. Kata Yulnardi didalam bukunya, tidak hanya soal kasir. Bahkan bangunan di Belanda dalam satu pemukiman terluhat sama dan benar benar sama, meskipun mereka bukan negara komunis. Setipa rumah berdesain luar sama, tidak ada yang boleh berbeda dan menonjol. Tidak ada bagunan rumah yang lebih bagus dibandingkan tetangga lain; entah itu luas halama, bentuk fisik, warna , maupun ketingggiannya. Aturan tersebut membuat tidak terdeteksinya siapa yang kaya dan siapa yang miskin.
            Tidak hanya soal pemukiman, jurang sosial masyarakat Belanda pun tiada dikarenakan pola hidup mereka yang tidak konsumtif. Mereka membeli barang sesuai dengan kebutuhan bukan untuk mengikuti tren. Mereka hidup bersahaja, meskipun bisa hidup untuk lebih mewah daripada itu. Nah bagaimana kita??? (atau malah memaksakan keadaan).
            Mereka juga tidak memusingkan soal menggunakan kendaraan yang mewah untuk pergi ke kampus, kanto dan lainnya. Jika bisa dijangkau dengan sepeda dan bus akan lebih baik (dipostingan berikutnya ada yang menarik juga soal transportasi Belanda loh). Walaupun mereka punya mobil mewah di bagasi mereka.  Mereka seolah tidak ingin dipandang kaya, walupun kaya bangetsssss.
            Dan lagi kenapa sih jurang kaya dan miskin di Beladan seperti tidak ada. Pastinya mereka bukan orang kaya semua kan. Pasti ada yang rezekinya lebih sedikit dari yang lain. Bukan berarti juga tidak ada pengemis. Tapi sistem pemerintahan Belanda dari segi pajak juga mengatus bagaimana subsidi silang antara yang kaya dan yang miskin. Mereka yang berpenghasilan banyak membayar pajak lebih banyak. Jadi deh, yang miskin juga tersantuni oleh mereka. Jadi wajar yah, kalau mereka tidak memandang dan memilih atau melihat seseorang dari status sosialnya. Jadi deh, obrolan pembeli dan kasir bukan cuma sola tampak tapi masuk ke hati dan tanda menghormati (Cieeeee eh lah :D)
            Nah kita mau jadi bangsa yang kayak mana???
End: 11 Februari 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemuda Memberi Tanpa Balas Kasih #PemudaMendesa Yulia Eka Sari for Anti Corrupttion Youth Camp 2017

Memanah Bintang

Kembali ke Desa untuk Mengentas Kemiskinan