Sepatu



Pinterest.com

Cahaya rembulan mengintip kedalam rumah. Bayangannya mengenaiku, sepasang sepatu yang kau letakkan didekat jendela rumah. Sepatu yang biasa bertegur sapa dengan perjalanan panjangmu, menapak mimpi-mimpimu. Melihat bagaimana ketika kau lelah, bersandar pada bangku sebagai tempat pemberhentianmu. Kadang kulihat wajahmu nanar manatapku. Mungkin kau sadar bahwa aku masih setia bersamamu. Setelah melihatku, mulutmu melengkungkan senyum dan kau beranjak untuk berjalan lebih cepat.
Sepasang sepatu milik nomor sekian terbawah dari nomor satu. Aku ada bersamamu. Melihat wajahmu memerah malu karena nilai matematika yang merah. Membawamu pulang kerumah meski tak kuasa melihat wajah ayah yang basah dengan keringat sehabis pulang dari ladang. Apa yang akan dikata. Aku sepatu yang harus setia. Setia pada apa yang baik bagimu. Pun, jika itu teramat berat harus kau tegarkan jua hatimu. “Ayah, maaf.”
Aku mendengarmu sesegukan. Sesekali air matamu menetes kewajahku. Kau belum melepasku. Karena lantai tanah tak akan terkotorkan oleh jejakku. Biasanya kau akan ganti daku dengan sepasang sandal Swallow yang biasa kau pakai didalam rumah. Swallow menggantikan tugasku untuk setia. Dan aku pun bersitirahat dalam dengkur malamku. Tapi, kali ini aku coba untuk bijaksana. Mungkin mata merahmu pangling dengan Swallow butut itu. Aku tahu kau teramat sedih karena mengecewakan ayah.
Lagi tak biasanya pula nilai kau rendah dalam mata pelajaran. Yang kutahu, selama aku setia denganmu. Kau selalu melangkah dengan gendongan buku pelajaran. Sementara jalan menuju rumah pun kau terus menghapalkan rumus premis. Kau terus saja bercerita tentang logika logaritma. Kepalaku yang pusing kau ajak berlari dari rumah pada pukul 05.00 pagi, mengantarkan susu sapi pada tetangga, berlari lagi pukul 06.30 pagi kesekolah gubuk reot dengan hapalan horizon tanah, jenis tanah dan biosfer. Belum lagi disekolah, aku harus mengawanimu melangkah kedepan kelas, terus-menerus menjawab pertanyaan dipapan tulis kapur. Mendengarkan suaramu yang lantang dalam mata pelajaran PPKN, “Merah putih adalah tanah airku, yang kubela meski jauh.” Belum lagi berderet seruanmu dalam upacara bendera.
Belum cukup dengan itu, sehabis pukul 12.00 siang lonceng pulang berbunyi. Kau masih saja betah untuk berada disekolah. Membersihkan kelas, halaman, meja guru, papan tulis, plus menanggalkan bendera dari tiangnya. Aku cukup paham denganmu. Kau terlalu setia pada gubuk reot dan benda pusaka itu. Merah-Putih. Sebaru pukul 13.00 siang kau akhirnya bisa pulang ke rumah. Selepas itu aku tidak tahu lagi apa yang kau lakukan. Sebenar-benarnya aku ingin setia denganmu hingga sore. Aku ingin turut pula bersamamu melihat matahari yang terbenam disenja hari. Tak cukup bagiku hanya dengan melihat matahari terbit di pagi hari. Aku ingin meraba senja dan bergelayut manja dengan semangatmu. Tapi kau, membawa Swallow untuk itu.
Aku cukup bijak pula untuk memendam rasa iriku pada Swallow. Lagi pula aku cukup senang mendengar cerita Swallow tentang petualangmu di petang hari. Katanya kau, sedari pukul 13.00 siang adalah waktu tergesa dalam hidupmu. Kau akan pontang panting dengan Swallow didalam rumah sepi ini. Maklum ayah sudah pergi dari pagi buta ke ladang Pak cik Burhan, membantu Pak cik untuk mencabut rumput, menyempot racun, membersihkan dahan, dan apapun yang terbaik untuk kebun sawit Pak cik. Sedang Ummi, baru saja pergi ke pasar pukul 09.00 pagi, saat Tek Sarina mengklakson-klakson Mitsubishi Colt L300 Pick Up Hitamnya. Ummi akan segera naik dengan membawa tas pasar belanjaannya. Tapi belakangan  Selepas itu rumah baru akan ramai, ketika matahari yang tertawa geli itu sudah benar-benar bersembunyi diperanduannya. Aku yakin, hanya aku dan Swallow yang tahu bagaimana tingkah pontang pantingmu.
Kau melemparkan baju sekolahmu keatas dipan yang ada dikamar kecilmu. Lalu sekilas bayanganmu sudah beranjak kedapur. Membuka tudung dengan pinggan kanso ditanganmu. Satu dua sendok nasi masuk ke piringmu, diikuti dengan sambal terasi ibu dan sedikit tempe potongan 1/8 dari satu. Ah, aku saja yang tidak kenal dengan makanan itu, lapar melihat gayamu makan. Sampai satu piring tandas dan suara kekenyanganmu memecah ruangan. Jika sudah demikian aku akan maklum lamunan 5 menitmu dihadapan tudung. Entah apa yang engkau lamunkan, cerita Swallow selalu saja terputus jika tentang itu.
Tapi karena cuma lima menit dari 24 jam mu. Itu membuatku tidak terlalu memikirkan cerita Swallow yang terputus, karena sebentar lagi Swallow akan bercerita kemana kau akan melangkah. Hari siang yang masih garang, pukul 2 siang lewat seperempat, kau sudah berlarian ke rumah Tek Sarina. Membawa kaca mata rayban hitammu. Untuk satu jam kedepan, aku dengan tulus hati memberikan waktu tersebut bagi Swallow untuk mendampingimu. Bagaimana tidak, bau bawang cukup memuakkan, bahkan mata dengan perlindungan kaca rayban hitam pun tidak cukup.  Masih bergulir satu-dua tetes air matamu. Aku cukup bijak pula untuk melarikan diri dari pekerjaanmu mengupas bawang di rumah Tek Sarina. Lepas itu, sungguh berharap waktu berhargamu diatas rumputan hijau dan dengan dengung suara sapi adalah milikku. Meski aku akan kotor dengan catatan lumpur-lumpur kecoklatan yang mengering di kulitku nanti. Aku masih mau untuk menemanimu.
Sayangnya harapanku tersebut tidak sampai pada hatimu. Dan si Swallow tidak pula menyampaikannya padamu. Huhhh,… yah sudahlah. Aku memang cukup malas mendengar ceritanya mengenai bagian ini. Bagaimana tidak, aku begitu iri dengan tapakannya pada rumputan hijau, angin yang berhembus, seakan membuat padang rumput seperti karpet aladin, siulan gembalamu dan nyanyian kebahagiaan teman-temanmu. Aku ingin melihatmu yang begitu santai bermain, tidak sekutu buku diwaktu pagi dan siang. Kali itu kau seolah merasa bahwa hidup adalah kebebasan, tidak lagi merasa bahwa ada beban berat diraut wajahmu. Aku ingin melihat itu. Apalagi, lengkung tawamu kala oranye dan jingga mulai menyatu diwarna  langit. Aku sungguh ingin setia melihatmu bahagia,sebagaimana setia melewati masa-masa beratmu.
Tapi kini, sejak nilai matematikamu rendah, mata ayah yang berair, dan duduk diammu dikamar dari siang hingga sore bersamaku, aku sungguh ingin melarikan diri. Biar Swallow ambil waktuku selamanya, jika demikian sikapmu. Cukup saja kebijakanku untuk setia padamu. Aku tidak setia lagi, aku tidak mau setia lagi. Entah kau sebut aku sebagi pengecut karena tidak menemanimu, terserahlah. Aku muak dan ingin lari. Tapi kau masih pasung aku dalam lingkaran dua kakimu. Tentu, aku tidak bisa beranjak pergi sendiri.
Sebagaimana aku tidak bisa beranjak saat kau bawah aku berlarian dari sekolah ke rumah dokter itu. Sungguh keadaan yang sangat tergesa, bahkan aku tidak dapat memahami diriku. Bagaimana bisa berlari sejauh dua kilometer tanpa henti. Setan apa yang menyambangiku, entahlah. Yang pasti aku bersyukur bisa berlari begitu kencang saat itu. Tidak bisa aku pastikan bagaimana jika satu detik saja aku terlambat mengawal langkahnya. Mungkin aku akan mengutuki diriku seumur hidup.
“Ummi….,” lengkingan itu menyayat hatiku. Sekelebat bunyi gagak dipepohonan, membuat hatiku semakin duka. Engkau menjejalkanku pada tanah merah, liang dimana ibumu mungkin akan bertemu dengan malaikat penjaga. Memisahkan suara batin dan jiwanya. Hingga suara tuhan, tidak lagi menyeru, tapi kebenaran. Aku mengigil ditanah merah ibumu.
Bagaimana denganmu? Apakah kau ketakutan. Apa ada kekosongan. Wajar. Aku paham bagaimana akhirnya kepercayaanmu pada logaritma, aljabar, menghilang begitu saja. Tak ada lagi bagimu hapalan biosfer, horizon tanah dan gaya gerak. Apalagi setiamu  pada Merah Putih. Karena setia padanya tak membuat ibumu selamat. Yang ada, duka yang ditorehkan semakin dalam.
Aku ingat, bagaimana kau merengek pada ayah untuk mengurus KIS yang janjinya diberikan oleh presiden Merah Putih kita. Apa sebab, karena berobat kekota  begitu jauh. Aku bahkan tidak pernah membayangkan bahwa uang ayah yang biasanya disembunyikan dalam kaleng susu 500 ml, akan sampai untuk separuh perjalanan. Apalagi biaya rumah sakit, pastinya kau terlalu cerdas untuk berpikir bahwa sepertiga biaya rumah sakit pun belum tentu bisa kau bayangkan jumlahnya.
Tapi KIS tak kunjung datang. Bukan karena ayah tidak coba untuk mengurusnya. Sebagaimana yang kau tahu, ayah sangat gigih bekerja, jadi tidak mungkin ia tidak gigih pula untuk mendapatkan KIS. Namun, ada kalanya problema ego menguat, adakalanya sekuat apapun kau untuk memperolah hakmu sebagai warga negara, selalu ada tikus yang menggerat disana. Aku tidak tahu itu, bagaimana kejadiannya. Yang pasti. Ayah yang tidak pernah menangis, pulang dengan mata sembab saat mengurus KIS. Mungkin kau harus tahu, bahwa itu sudah cukup.
Dan suara batuk dari ibu, dirumah dokter yang dengan baik hati mau mengobati ibu, membuat apa yang kau rasakan tentang Merah Putih, pidato-pidatomu tentang negara dimata pelajaran PPKN menjadi cukup. Ibu tidak hanya pergi membawa kepercayaanmu pada logaritma, aljabar, biosfer, horizon tanah, gaya gerak tapi juga setiamu pada Merah Putih.
Mungkin ayah akan paham bagaimana sakit hatimu, sebab itu ia tidak menanyaimu sepulang sekolah ini tentang nilai matematika yang menjelma menjadi angka itik. Tapi, maaf, aku sepasang sepatu lusuhmu tidak bisa memahami bagaimana  sakit hatimu. Mungkin kau akan membenciku, tapi berminggu kemudian aku memutuskan untuk tetap cinta dan setia membawamu melangkah kembali kesekolah. Aku akan setia mendengarmu bersenandung tentang tes SMPTN, aku akan setia membawamu kekota seberang hanya untuk kepustaka daerah. Aku akan setia padamu, sebab, aku ingin mendengar merah-putih membalas cintamu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemuda Memberi Tanpa Balas Kasih #PemudaMendesa Yulia Eka Sari for Anti Corrupttion Youth Camp 2017

Memanah Bintang

Kembali ke Desa untuk Mengentas Kemiskinan