Lail dan Jam Dinding
![]() |
Pinterest.com |
Engkau tahu jam dinding? Yang
berdetik 86.400 dalam satu hari. Bahkan aku ragu pada hitungan, jika jumlahnya
sekian banyak. Satu, dua nyamuk hinggap
di kaki ku, tiga ekor kecoa keluar dari bawah dipan ku, empat cicak saling
mengejek rezekinya, lima ah… sudah lima kali aku ditolak untuk datang
bertandang kerumahnya. Ia Lail, gadis manis dengan rambut hitamnya.
Kau tahu ia. Lail lahir dimalam
penuh bintang, sebab matanya penuh dengan cahaya. Pernah satu malam, aku tidak
sengaja lewat didepan rumahnya. Aku melihat ia duduk diberanda rumahnya, kursi
bambu itu terdengar berderet ditelingaku. Bagaimana tidak, kursi itu lebih tua
dari rambutnya tumbuh. Dihalaman rumanhnya kala itu tidak ada
lampu petromaks seperti sekarang. Baru lima hari ini Lail menyicil membeli
lampu petromaks baru. Jadi pada malam sebelumnya, ia tidak melihatku lewat didepan
rumahnya. Malam itu, aku melihat matanya bercahaya.
Sejak itu, hidupku seakan kelam
tanpa cahaya matanya. Aku terus menguntitnya dimalam tanpa lampu petromaks.
Seperti mengambil nafas, setiap malam aku mewajibkan diri untuk
melihatnya duduk diberanda. Hingga kau terbiasa dengan larikan nafasnya.
Larikan nafas yang menurutku mengecewakan, karena selepas itu, Lail selalu
masuk kedalam rumah dan aku mengutuki pintu yang menutup itu. Lail selalu masuk
kerumah itu sejak dentang jam dinding berbunyi dua belas kali. Aku benci
bunyinya, yang samar tapi menusuk hatiku setiap malamnya.
Jika sudah demikian, sudah pasti
aku melangkah gontai ke rumah ibuku. Cukup untuk Lail malam ini. Aku akan
menjemputnya dialam lain. Yang tidak kuharapkan dentang jam dinding itu
mengusik selaput khayalku. Lail, malamku bercahaya karena lahirmu.
Tapi itu lima hari lalu. Sejak
lampu petromaksnya menyala pukul 7 malam. Aku dipaksa untuk mengabsenkan diri
dari cahaya matanya. Sekarang aku tidak akan mengutuki dentang jam dinding
sialan itu. Aku rasanya harus mencongkel lampu petromaks kuning ini. Pun
cahayanya tidak baik bagi mata Lail. Mata Lail jauh lebih bercahaya.
Beruntung aku bisa mengutuk Max
Graetz, si empuh petromaks. Kau tahu Max, tidak ada cahaya yang bisa
mengalahkan cahaya mata Lail. Andai saja aku dan Lail menjadi bayi lebih dahulu
dari padamu Max. Tentu kau tidak akan laku dengan lampumu. Tapi sudahlah.
Petromaks agaknya aku harus terbiasa merindukanmu, karena kau yang
mengantarkanku tidur setiap malam. Membiarkanku menyaksikan laron berterbangan
disekelilingmu. Mengantarkan aku pada mata bercahaya Lail dalam khayal lain.
Aku sudah berhenti bertandang ke rumah Lail. Cukup melihat matanya dibawah
petromaks rumahku hingga pagi.
Jika aku dipaksa harus berpikir
sepanjang lapangan bola tentang hari yang paling sial dalam bauku, pasti hari
inilah harinya. Ibuku yang pagi-pagi pergi ke pasar, pulang-pulang sorenyanya
membawa jam dinding antik. Ukirannya cukup legam jika kulihat, ada bekas
terbakar dikakinya. Tapi kayu jati yang digarnis dengan parnis tersebut tidak
menyembunyikan kegagahannya. Ibu pulang membawa hadiah dari rumah kakek.
Kakekku yang meninggal dua hari lalu.
Jam itu ia taruh didekat dua kursi
rotan dibagian ruang rumahku. Disana ada meja bundar kecil dengan vas munggil
diatasnya. Ada Tv tua merek Sanyo milik
ayahku dari gaji pertamanya di Disperidag. Kali ini bolehlah kau menyebutnya
itu tempat tamu disunguhi teh racikan alami ibuku. Yah, bodohnya aku harus
menunjukimu kalau itu ruang tamu. Jam itu menambah sesak ruangan. Asal ibu
tidak memintanya diletakkan didepan pintu kamarku, aku sudah cukup bersyukur.
Terimahkasih bu, ide gilaku tidak kau terima.
Pukul 12 malam, aku masih dibawah
peluk selimut kisut ku. Bersyukur jam itu tidak memotong waktuku dengan lelap
Lail. Aku memiliki jatah hingga pagi untuk bersama Lail. Jauh... tidak dibawah
lampu petromaks didepan rumahnya. Lail kita berjumpa dalam kelam malam, karena
cahaya matamu yang lahir dari ratusan bintang di rasi galaksi bima sakti. Oh,
agar tidak ada bintang utara yang hadir sedini ini.
Teng…. Teng…
Teng…!!!
Tiga cicak jatuh tengkurap diatas
selimutku, upaya dari terjun payung dari singasana langit atap rumahku. Tiga
kecoa genap menjadi empat setelah anak kesepulunya lahir dari istri keempat.
Tiga cahaya mata Lail mulai hilang dalam gelapku. Ulah tiga kali jam reot itu
berdentang, tepat pukul tiga dini hari. Saat itu tiga titik muncul dalam ingatanku.
Lail yang manis dengan tudung merahnya. Cahaya mata Lail. Dan bunyi dentang jam
dinding Lail dipukul 12 malam. Titik-titik yang menutup ingatanku. Dentang
perpisahan dengan Lail. Esok aku bangun pagi dengan Tari.
Komentar
Posting Komentar