Ia Penjaga Garis Kenyamanan
![]() |
google.com |
”Demokrasi
berarti pemerintahan dengan perdebatan. Sistem ini bisa efektif jika Anda mampu
menghentikan orang-orang berbicara.” Clement Attlee (1803–1857), Perdana
Menteri Inggris”
Secara kodratnya manusia membutuhkan orang lain,
oleh karena itu disebut sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk sosial
hidup dalam satu rumpun dengan segala perbedaan. Perbedaan diantaranya
melahirkan permasalahan, meski tak selamanya terjadi. Permasalahan butuh untuk
diselesaikan demi kenyamanan bersama. Maka baiknya, ada kesepakatan akan suatu
garis kenyamanan, dibentuklah aturan.
Aturan yang ditetapkan sebagai penjaga garis
kenyamanan berada ditengah makhluk sosial yang sejatinya selalu menghadapi
mobilitas sosial. Mereka selalu berubah karena kodratnya makhluk hidup pun
selalu tumbuh dan berkembang, tiada salah. Hingga aturan tersebut pun terkadang
hilang sendirinya, ataupun tumbuh tenggelam dalam perkembangan sang pembentuk
garis kenyamanan, manusia.
Ketika aturan hilang dan tenggelam, batas kenyamanan
itu hilang kembali. Manusia kembali pada zaman dulunya sebelum si aturan
sebagai garis penjaga kenyamanan itu dibentuk. Perbedaan pun kembali menjadi
permasalahan, dan kenyamanan kembali terusik untuk kedua kalinya. Manusia pun
kian menyadari bahwa mereka yang mengalami mobilitas membutuhkan aturan, tidak
hanya untuk memberikan penjaga garis kenyamanan, namun juga penjaga mobilitas
mereka. Dan lahirlah aturan dalam ikatan kertas diatas tulisan yang jelas mana
hitam putihnya. Sekarang mereka, manusia, memiliki aturan tertulis.
Dan suara perbedaan pun berhasil diredam dengan sang
penjaga kenyamanan yang mengikatnya. Pun, demikian masih ada yang dirasakan
kurang oleh manusia tersebut, mereka membentuk penjaga garis kenyamanan dan
menjadikannya sebagai hal yang mengikat,
jelas hitam putihnya. Namun, tak ada yang berwenang untuk menjaga hal
tersebut. Tak ada yang memiliki hak untuk menghakimi dengan aturan tersebut.
Tak ada pengingat, sehingga mereka yakini bahwa aturan tersebut benar ada dan
benar disepakati. Tak ada kewenangan yang membuat mereka tidak hanya tunduk
pada si aturan-penjaga garis nyaman tersebut-benda mati, sebagai makhluk sosial yang menggantungkan diri pada
benda mati tersebut tentulah ada yang dirasakan kurang, karena tak selamanya
benda mati tersebut mampu mengatur perbedaan mahluk yang selalu mengalami
mobilitas-benda hidup. Mulailah
dirasakan perlunya benda hidup yang berasal dari golongan mereka untuk
memengang kewenangan atas benda hidup lainnya, dan tentunya menjaga garis
kenyamanan tersebut secara nyatanya.
Maka terpilihlah diantara mereka seseorang yang
menjaga kewenangan tersebut, pemimpinlah
mereka sebut ia. Seorang yang menjadi pemimpin tersebut pasti memiliki perbedaan dengan mereka, juga merupakan
makhluk sosial seperti mereka yang turut mengalami mobilitas sosia. Namun, ia-sang pemimpin dituntut untuk menjaga
kewenangan atas sekian banyaknya perbedaan (kita sebut saja ini manusia),
menjaga garis kenyamanan (aturan), tentunya menjaga kenyamanan tersebut (lebih
mengacu pada hak milik manusia, seperti harta benda). Sehingga secara tak
langsung, pemimpin menjadi makhluk sosial yang merelakan dirinya untuk mengurus
makhluk sosial lain dengan tantangan ia pun juga makhluk sosial, dan dengan keunggulan
ia bisa memahami makhluk sosial, karena ia bagian darinya. Dan mulailah
pemimpin sebagai ksatria baja putih, menjaga kewenangan tersebut dan memiliki
hak atas kewenangan tersebut.
Salah satu ia,
si pemimpin yang menjadi ksatria baja putih itu adalah Presiden RI yang tengah
memimpin dengan ‘Revolusi Mental’ sebagai taxline-nya.
Bendera merah putih sebagai lambang NKRI masih berkibar dengan megah diistana
presiden tersebut. Ia si penjaga
kewenangan tersebut memiliki hak atas ribuan jiwa yang berlindung di bawah
naungan Merah Putih, dan ia pun
dituntut untuk menjadi makhluk sosial yang mengerti permasalahan makhluk sosial
lainnya. Setiap harinya ia dituntut dengan permasalahan Negara yang bahkan
tidak menyisakan waktunya untuk mengingat dirinya sebagai makhluk sosial,
memang demikianlah risikonya-karena pilihan dan tuntutan pekerjaannya. Hingga
pada satu ketika ia menjadi makhluk sosial yang memiliki perbedaan, ia
dikucilkan oleh kewenangan yang dipengangnya, suara-suara dari garis kenyamanan
mulai meruih, menuntut perhatian. Dan ia
pun harus kembali pada ia, yang harus menjadi sama dengan berjuta perbedaan
lainnya.
![]() |
google.com |
Ketika denominasi mata uang asing, dolar, menguat terhadap rupiah. Ia dituntut untuk
segera menyelesaikannya, karena itu menganggu kenyamanan mereka. Ketika
kurikulum 2013 belum berhasil diimplementasikan, lagi-lagi kaum terdidik negeri
ini bingung dengan kebijakan yang dibuat ia
(pemimpin lainnya-tapi tetap merujuk ia).
Ketika harga BBM dinaikkan dan subsidi dipangkas, lagi-lagi ia dianggap tidak
memihak pada rakyat kecil. Mahasiswa pun yang katanya cendikia diantara makhluk
sosial lainnya dan memihak pada rakyat kecil turun kejalan, menuntut kebijakan
pemerintah. Salah satu ciri makhluk sosial mereka mulai merajai-masalah
menyelamatkan garis kenyamanan semakin riuh lagi terdengar. “Pemerintah harusnya pro rakyat kecil”-
kata mereka. Tapi taklah ingat, rakyat kecil bagaimana dalam artian mereka,
taklah ingat terkadang rakyat kecil itu semakin egois dengan mayoritanya.
Taklah ingat bahwa sebagian rakyat kecil, duduk bermenung menunggu rizki turun
dari langit, meski tak semua.
Memang semuanya adalah masalah kehidupan, siapa yang
bisa disalahkan, pemerintahkah, rakyatkah, atau Tuhankah. Pemerintahkah? Tapi setidaknya pemerintah turut andil mengambil
kebijakan yang secara tak langsung mengarahkan masalah kehidupan tersebut. Rakyatkah? Tapi rakyat tak selamanya
ingat bahwa ada batas untuk keegoisan masalah hidup mereka, ada suara yang
seharusnya lebih dipilih untuk dikeluarkan disaat yang tepat, meski ada
kebebasan berpendapat. Tuhankah?
Semuanya memang keputusan Tuhan, hanya saja kau lambat mengetahui hasilnya, dan
tak ingatkah Tuhan selalu menakdirkan yang terbaik untuk sebuah kehidupan yang
kita jalani.
Lantas apa artinya sebuah suara yang semakin riuh
dibatas kenyamanan tersebut. Jika tak satu pun dari pemerintah dan rakyat
mengerti bahwa ada batas untuk sebuah keegoisan sebagai makhluk sosial. Bahwa
si ia, pemimpin tertinggi negeri ini
memang mengahadapi tugas yang berat dengan keegoisan sosial diantara pemerintah
dan rakyat. Tapi, ia pun memang harus betanggungjawab sebagai pemilik
kewenangan, karena itu tugasnya, dan ia pun harus dengan tegas untuk tetap
menjadi penjaga dari aturan yang hadir dalam kertas, yang jelas hitam putihnya
sebagai suatu kesepakatan yang dibentuk oleh makhluk sosial yang memberinya
kewenangan dan makhluk sosial yang menuntut akan arti kewenagan yang diberikan
padanya. Ia sebagai Presiden NKRI pun
harus dengan tegas dan cepat untuk menyelesaikan semua permasalahan hidup
makhluk sosial tersebut. Setidaknya menemukan sedikit jawaban untuk masalah
kehidupan tersebut. Hadirlah sebuah kebijakan yang berlaku untuk semua makhluk
sosial yang bernaung dibawah Merah Putih tersebut. Dan kebijakan tersebut
mengikat mereka, yang tekadang mereka tak tahu dengan jelas, apa maksud, apa
yang hendak dituju dengan kebijakan tersebut. Karena mereka-si makhluk sosial
terkadang benar-benar tidak tahu, atau tidak mau mencari tahu, atau tahu tapi
memiliki pandangan yang berbeda, menangkap arti pesan yang berbeda, hingga feedback yang diharapkan ia pun berbeda. Dan itu agaknya yang
perlu dibenahi oleh ia, karena komunikasi tujuannya adalah menyampaikan pesan dengan
satu makna yang juga ditangkap dengan makna yang sama kepada orang yang
ditujunya, dan diharapkan ada feedback baik
atas semua itu. Nah, jika komunikasinya saja terganggu bagaimana mungkin si
makhluk sosial tersebut akan menangkap maksud ia. Ia, sebagai pemimpin tentunya harus melancarkan komunikasi
tersebut, harus ada transparansi
informasi, dimana semua makhluk sosial yang menjadi sasaran kebijakannya
menangkap pesan tersebut. Meski tak semuanya harus ditransparansi. Tapi tak
ingatkan, jika tak karena maksud yang tidak dijelaskan secara jelas oleh pemuda Indonesia ketika membawa
Soekarno-Hatta ke Renggas-Dengklok yang hampir menimbulkan feedback negatif dari Soekarno-Hatta (baca, Soekarno-Hatta menolak
usulan pemuda untuk menyatakan kemerdekaan esok harinya). Maka itu, ia harus jelas dengan setiap
kebijakannya.
Kita ambil contoh, memoratorium PNS. Secara langsung
tentunya ini akan menjadi gejolak bagi PNS, atau mereka yang dituju oleh
pendidikannya untuk mejadi PNS. Kuantitas penerimaan PNS yang dikurangi, membuat
kualitas dari PNS maupun calon PNS harus dibenahi. Jika kita kembali berpikir
dengan masalah kehidupan dan keegoisan sosial tentunya, kita menginginkan agar
kebijakan tersebut tidak berlaku. Kenapa? Karena dengan demikian, peluang untuk menjadi PNS semakin
berkurang, sementara untuk menaikkan kualitas, kita membutuhkan biaya yang
besar, hingga masalah hiduppun menjadi alasannya. Tapi tak ingatkah, ketika
suatu keputusan diambil, dan sebuah kebijakan dipaksa mengikat, ada risiko (risk) plus ada kesempatan dibalik semua itu, Oportunity. Kita harus mengambil satu alternatif dan mengorbankan
alternatif lainnya demi sebuah
keuntungan. Nah, keuntungan apakah yang coba ia maupun pemerintah pikirkan
sehingga adanya kebijakan tersebut. Pertama, peradaban Indonesia akan semakin
baik, salah satunya dengan peningkatan kualitas PNS-nya. Alokasi dana untuk salaries expense (beban gaji) PNS
semakin berkurang, hingga sebagian dana bisa dimanfaatkan untuk pembangunan
dalam hal meningkatkan kualitas peradaban Merah Putih. Dan lebih, Indonesia
sebagai bagian dari cakupan dunia global pun dituntut untuk menjadi bagian dari
MEA, sehingga daya saing masyarakat dalam perekonomian harus ditingkatkan,
angka pengangguran harus dikurangi, produktivitas produk dalam negeri harus
ditingkatkan, dan sarana serta prasarana publik harus mendukung masyarakatnya.
Dan butuh alokasi dana yang besar untuk itu semua. Dan mengantungkan diri
selamanya pada PNS, tidak akan membawa hasil yang signifikan ketika MEA telah
ikut ambil andil dalam perkonomian Indonesia. Contoh nyatanya, Yunani yang
harus defisit dari pendapatannya karena sebagian besar penerimaan Negara
dibayarkan pada PNS, sementara peningkatan perekonomian lain tidak siginifikan
untuk menghadapi dolar yang semakin menguat terhadap mata uangnnya, bagaimana
tidak penduduknya banyak yang mejadi pengawai. Hingga tiada salah menjadi
pengusaha semakin digembar-gemborkan oleh pemerintah Indonesia, karena kita tak
ingin bernasib sama dengan Yunani bukan?
Kasus diatas hanya sedikit contoh, kebijakan ia yang
mengusik garis nyaman si makhluk sosial. Dan tidak selamanya kebijakan tersebut
buruk, pun tidak selamanya kebijakan tersebut tidak membutuhkan suara dari si
makhluk sosial, karena suatu kebijakan itu pulalah yang akan membawa masalah
hidup mereka kearah mana. Intinya jika ada kebijakan yang ia putuskan, tetaplah
si makhluk sosial harus memantaunya, tentunya dengan memahami tujuan dari
kebijakan tersebut. Agaknya si makhluk sosial itu sudah semakin baik, karena
tidak semuanya yang turun kejalan ketika BBM naik, terlepas dari benar salahnya
kebijakan tersebut. Si makhluk sosial tersebut sudah semakin pintar untuk
menyuarakan suara mereka diwaktu yang tepat. Sudah semakin pintar untuk
bekerjasama menjaga garis kenyamanan yang sesaat terusik. Sepertinya ia dengan
Revolusi Mentalnya meningkatkan peradaban Merah Putih dalam segi menjaga
kebebasan berpendapat. Hingga harapannya kebijakan yang dihasilkan ia semakin
efektif, tentunya kebijakan yang benar. Dan tiada salah Clement Attlee
(1803–1857), Perdana Menteri Inggris berkata “Demokrasi berarti pemerintahan dengan perdebatan. Sistem ini bisa
efektif jika Anda mampu menghentikan orang-orang berbicara.” (*)
Komentar
Posting Komentar