Jika “Tuyul” Liput Bencana (?)
![]() |
google.com |
Setiap genre jurnalisme memiliki
keunggulan tersendiri, salah satunya jurnalisme TV. Televisi hadir dengan
keunggulan audio dan visual dalam mewartakan berita kepada penonton. Sehingga makna dari
suatu informasi pun akan lebih mudah dipahami, karena mereka disuguhkan
dengan rekaman gambar nyata suatu
keadaan. Pun tak mungkin, jurnalisme TV termasuk informasi instan sekaligus
menarik minat penonton. Namun, sebenarnya tidaklah mudah mengolah suatu data
lapangan dan rekaman gambar menjadi suatu berita. Salah satunya dalam berita
bencana.
Meliput kejadian bencana dalam
jurnalisme TV, berarti mendapatkan data lapangan yang lengkap, rekaman gambar
yang memadai untuk mengambarkan bencana tersebut dan tentunya dengan tidak
menghiraukan kode etik jurnalistik. Tidak hanya nilai dari suatu berita yang
dipentingkan dalam jurnalistik ini. Tidak hanya kebutuhan untuk memberikan
informasi yang harus disegerahkan. Pun, tidak pula keselamatan diri wartawan
yang harus dinomorsatukan. Namun, juga tuntutan akan nurani kemanusiaan. Bahwa kita hadir untuk mereka,
mewartakan suara mereka, menjadikan berita TV itu milik mereka.
Menjadikan sebuah berita TV milik
mereka, haruslah mengambarkan ungkapan perasaan mereka, dan melalui rekaman
gambarlah semua itu disampaikan. Melihat peran pentingnya sebuah gambar, hingga
tak sembarang kameramen ataupun wartawan yang diturunkan kelapangan, tak semua
rekaman gambar bisa diloloskan untuk naik siar. Karena bukan saja mereka yang
melihat bencana melalui layar TV yang menangkap sebuah pesan, tapi juga mereka
yang dalam rekaman gambar tersebut yang menuntut “Gambar inikah yang bisa
menyampaikan duka kami”.
Di Indonesia, TV mewartakan berita
bencana masih pada saat bencana itu terjadi, ataupun beberapa hari pasca bencana.
TV di Indonesia jarang mengawal warta suatu bencana semenjak prabencana,
mungkin salah satunya karena alasan keterbatasan informasi. Tapi hal ini bisa
diantisipasi, tentunya dengan bekerjasama dengan badan atau instansi yang
memang berwenang. Selain bisa membantu dalam memberikan informasi mengenai
kemungkinan terjadinya bencana, juga memungkinkan bagi stasiun TV untuk memiliki
satu sumber terpercaya.
![]() |
google.com |
Dan akan menjadi sebuah kesiapan
sendiri bagi kameramen maupun wartawan ketika meliput tanggap darurat bencana, hingga
alasan ketidaksiapan dan kurangnya rekaman gambar serta data lapangan bisa
dielakkan. Karena sebagaimana tadi, rekaman gambar sangat penting dalam
mewartakan berita bencana. Kameramen yang handal, serta wartawan yang tahu
medan, memudahkan dalam pengambilan gambar. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa TV
di Indonesia masih kurang siap dalam meliput bencana, terlebih bencana yang
terjadi tanpa prediksi, sebagaimana tsunami Aceh Desember 2004. Kesulitan terjun tersebut menjadikan kameramen
dan wartawan sulit untuk mengambil rekaman gambar. Lalu dari manakah gambar
yang tersebar tersebut? Bisa jadi dari rekaman mereka yang mengaku citizen jurnalis, atau dari kamera warga
tak segaja mendokumentasikannya. Namun ada mereka yang handal dalam mendapatkan
rekaman gambar dan berlagak seperti kameramen stasiun TV, Si tuyul-istilahnya.
Tuyul atau yang dikenal dengan
stringer, kameramen, kontibutor adalah mereka yang membantu pekerjaan
koresponden stasiun TV nasional dalam mengambil gambar maupun data lapangan.
Mereka bekerja tanpa menyadang identitas stasiun TV tertentu. Mereka biasanya
hadir dalam warta berita konflik. Dengan bermodalkan handycam, mereka menjadi perekam peristiwa tanpa identitas dalam
liputan keroyokan. Dan bukan tak mungkin, mereka juga meliput warta untuk
berita bencana.
Si tuyul pun tak pula mengetahui
dasar-dasar jurnalistik secara umum. Mereka belajar dari pengalaman. Dan dari
pengalaman peliputan bencana di Indonesia, dapat kita lihat sendiri
menghasilkan rekaman gambar yang itu-ke itu saja. Mayat yang bergelimpangan, anak-anak
menangis, rumah hancur, dsb. Yang sejatinya tidak selalu memberikan gambaran
yang tepat pada penonton. Penonton seakan dibawah untuk larut dalam duka sesama,
tiada salah memang. Tapi, jika diulang-ulang tentu menjadi gambar duka tampa
satu kalimat “Kuatlah dan bangkitlah,” yang sejatinya harus kita sampaikan pada
korban bencana. Dan rekaman gambar kameramen mengawali itu semua. Begitupun
dengan Si tuyul.
Tidak hanya mereka tidak memiliki
identitas diri, terkadang pun sumber nama pemilik gambar tak dicantumkan. Tak
ada identitas plus dasar ilmu
jurnalistik, bisa jadi menyebabkan mereka tak paham, bagaimana meliput berita
bencana. Dan lebih lagi akan pemahaman
“Tak ada berita seharga nyawa”. Agaknya perlu kebijakan tegas dari stastiun TV,
yang memberikan simbiosis mutualisme jika menggunakan tuyul, karena tak dapat
dipungkiri, dengan tanpa identitas yang dikalungkan ke leher, mereka tetap
memberikan rekaman gambar terbaik kepada kita. Supaya jurnalis tak hanya
mengerti bahwa ini berita dari Tuhan, tapi juga jurnalis butuh mengerti untuk
menjadi tasngan Tuhan untuk sesama mereka, termasuk Si tuyul.
Sebuah essai untuk PKJTLN Salam Ulos, Suara USU, Berastagi, 18-23/11/15
Komentar
Posting Komentar