to Workshop Meliput Isu Keragaman

google.com 

Tak Ada Sentimen, Kami Belajar dari Kebiasaan
Oleh: Yulia Eka Sari
SKK Ganto UNP

“Bagiku agamaku, bagimu agamamu,”…
“Kelenteng ini juga milik umat muslim,”...

Tak ada atap runcing atau gonjong gaya atap  Minang sejauh mata memandang, mereka digantikan oleh deretan bangunan tua Tionghoa yang umumnya didominasi cat berwarna merah serta perpaduan warna kuning. Lainnya berdiri toko-toko milik orang Tionghoa, lengkap dengan lampion merahnya yang mengantung, satu atau dua. Beberapa dari mereka menyapa, hingga wajah dengan mata sipit dan kulit putih itu terlihat akrab. Tak hanya mereka, beberapa laki-laki yang berdiri di parkiran dengan gurat wajah keturunan India pun menyapa ramah. Tak selang jauh dari toko Tionghoa, dengan label aksara Arab “Assalamualaikum” beberapa toko makanan khas Arab mulai dibuka pada siang itu, Kamis (5/5) di Kelurahan Kampung Pondok, Padang Barat, Sumatra Barat.
Kelurahan Kampung Pondok sendiri ditempati oleh tiga etnis, yakni Tionghoa, Keling, dan Melayu (Chinkalma). Terbentuk sejak otonomi daerah  pada tahun 2000, kelurahan ini menggabungkan lima kelurahan, yaitu kelurahan Tanah Kongsi, Kali Kecil Pondok, Pondok, Simpang Enam dan Kampung Dobi. Meskipun baru dibentuk, bukan berarti keragaman masyarakatnya baru terbentuk pada tahun 2000 pula. Konon, mereka sudah ada sejak perdagangan dengan bangsa asing di buka di Sumatra Barat. Kebanyakan keturunan Tionghoa bermigrasi sekitar tahun 70-an yang sebagian dari berasal dari Medan dan Pekanbaru, demikian pula dengan datangnya etnis Keling yang terdiri dari keturunan Arab dan India ke Sumatra Barat. Mulanya mereka, hanya bertujuan berdagang ke Teluk Bayur, yang merupakan garis pantai sepanjang Kampung Pondok. Dari perdagangan itulah masyarakat asli, Melayu mulai berbaur dengan mereka.
Seperti yang diungkapkan Usman, laki-laki 68 tahun ini adalah Kepala RW 02, Kelurahan Kampung Pondok. Menurut Usman, adalah hal yang biasa ketika mereka sebagai pribumi asli berbaur dengan etnis lain, walaupun berbeda agama. Usman sendiri tidak mengetahui dengan pasti mengapa satu kelurahan ini bisa begitu harmonis, “Tak pernah ada sentimen agama maupun etnis disini,” ujarnya Kamis (5/5). Tampaknya warga belajar dari masa lalu, pada kebiasaan masyarakat pendatang yang baik.
Yang diketahuinya, selama beberapa abad kebelakang, seperti yang diceritakan nenek-neneknya, etnis pendatang selalu ramah dan bisa berbaur. “Mereka tidak membuat rusuh, malah membantu,” imbuhnya, sambil melirik pada salah satu toko milik orang Tionghoa. Salah satunya Masjid Nurush Shadiqin Pondok yang dengan padanan cat putih dan hijau, berdiri gagah diantara toko berbagai etnis, tetap mengumandangkan azan. Masjid tersebut dulunya berdiri di tanah milik orang Keling, nonmuslim, namun karena digunakan untuk masjid, orang   tersebut mewakafkan tanah yang dimilikinya.“Perbedaan tak pernah menjadi masalah,” lanjut lelaki yang tengah hari itu memakai baju putih dengan kopiah betengger di kepalanya.
Berbicara harmoni masyarakat pondok yang terbentuk karena kebiasaan, seperti yang dikatakan Usman, Lin Johan, Ketua RT 02 RW 02 pun mengatakan hal yang sama pada 2011 lalu. Dikutip dari pernyataan Lin pada Surat Kabar Kampus Ganto edisi November 2011, “Perbedaan yang dimiliki dijadikan ajang untuk saling bertemu ramah,” ungkapnya.
Tak hanya diakui masyarakatnya, harmoni tersebut sampai jua ke telinga negeri ini. Tahun 2010 Kelurahan Pondok terpilih menjadi kelurahan terbaik nasional. Alasannya tak lain karena pembauran antar budaya dan seni yang solid antar tiga etnis penghuni kelurahan. Pembauran tersebut tampak pada pertunjukkan barongsai yang hanya dilakoni oleh kaum Tionghoa saja. Namun kaum Melayu dan Keling juga ikut berpartisipasi dalam penampilan budaya tersebut.
google.com
Harmoni pun tak perihal barongsai, yang mungkin unik bagi Kaum Keling dan Melayu, dalam pesta pernikahan pun mereka tetap menjaga kesolidannya. Hal tersebut kembali dinyatakan oleh Usman. Bahwa nonmuslim pun mengakui keyakinan muslim, ini terperihal halal dan haram. Dalam pesta, jika yang mengadakan adalah etnis Tionghoa atau Keling yang nonmuslim, maka mereka menyediakan tempat makanan khusus, yang sama sekali tidak mengandung unsur haram. Seperti yang diyakini oleh umat muslim. Begitu pun jika berkunjung ke beberapa rumah makan milik nonmuslim. Harmoni pun, juga perihal kedukaan bersama, yang jika orang Tionghoa meninggal, maka orang muslim ikut melayat ke tempat non muslim tersebut.
Adalah Hal Biasa
Jika tadi ada masjid yang dibangun diatas tanah etnis Keling nonmuslim. Berjarak kurang lebih 1 Km dari sana, bangunan Kelenteng See Hien Kiong berdiri megah dengan dominan warna merahnya. Kelenteng tersebut adalah kelenteng satu-satunya di Sumatra Barat, menggantikan kelenteng lama yang rusak karena gempa pada 30 September 2009 lalu. Gempa tersebut menghempas Kelenteng lama See Hien Kiong yang merupakan bangunan cagar budaya kelas A hingga tidak layak lagi dipakai.
Tepat 30 Maret 2013, saat yang bersamaan dengan ulang tahun Dewi Kwan Im, dewi legenda Budha etnis Tionghoa, bangunan baru Kelenteng See Hien Kiong diresmikan.  Menggantikan kelenteng lama sebagai benda cagar budaya sesuai dengan keputusan Undang-undang No 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan Keputusan Walikota Padang Nomor 03 Tahun 1998.
Kini gedung beratap merah dengan arsitektur cina tersebut ramai kembali dikunjungi oleh pengunjung, baik domestik maupun luar. Kebanyakan diantara mereka mengenakan jilbab, berdiri didekat rantai batas Kelenteng. Pasalnya yang diperbolehkan masuk kelenteng hanyalah untuk yang beribadah. Dan pengunjung  harus rela mengabadikan satu moment dengan jepretan latar luar kelenteng. “Tapi juga ada yang berjilbab, masuk kedalam dan beribadah, kami tidak melarangnya,” ujar Wijiyanto (48 th), penjaga kelenteng saat ditemui di lokasi kelenteng lama.
Yang demikian sudah menjadi biasa bagi Wiji, baik muslim yang berfoto maupun yang masuk kedalam kelenteng untuk ibadah. “Itu sudah biasa,” ungkapnya, Kamis (5/5). Hemat saya, ini bukan perihal mereka tidak menyakini keyakinan mereka. Wiji sendiri pun adalah pemeluk agama Islam, ia bekerja sebagai penjaga kelenteng. Pun dipercayai oleh pengelola kelenteng. “Bekerja bukan masalah agama saya, tapi kepercayaan pada saya,” jelas Wiji.
Hal senada diungkapkan oleh Ibrahim (60 th). Ibrahim tidak hanya menjaga kelenteng membantu Wiji, tapi juga menjaga beberapa gereja di Padang. “Pergilah Anda ke Pastor, mereka sudah terbiasa dengan kita,” ungkapnya. Pemeluk Kristen menganggap sama kita dengan  mereka, tidak ada masalah, itulah yang dikatakan Ibrahim. Pun bukan perihal misionaris, “Selama saya bekerja disana, 20 tahun lalu sampai sekarang, tak ada ajakan itu,” tambah Ibrahim. Begitu juga dengan orang muslim yang tidak mengajak pemeluk agama lain untuk memeluk agama mereka. Ketika mereka yakin memeluk Islam diwujudkan dengan tindakannya, dan jika tidak, umat Islam akan merasa terhina. Beruntung hal tersebut tidak pernah terjadi di Kelurahan Kampung Pondok.
Bahkan pernyataan dari Tjioe Oe Sen (64 th), Wakil Kelenteng See Hien Kiong menyatakan bahwa kelenteng adalah juga milik umat muslim, “Mungkin muslim tak sadar bahwa mereka juga memiliki kelenteng ini,” tandasnya, (5/5). Hal tersebut dikarenakan kelenteng baru tersebut dibangun atas donasi masyarakat, tak luput umat muslim. “Contohnya itu Wiji, tenaganya juga sumbangsih,” ungkapnya.
Hanya Protes Bukan Konflik
google.com
Tapi apa yang berbeda, hakikatnya adalah adanya perbedaan. Adanya hal yang tidak berketerimaan, meski itu adalah kebiasaan. Meski itu adalah warga yang biasa ramah. Tak bersebab mereka dulu yang sekarang ramah yang menjadi patokan. Tapi keyakinan. Kelurahan Kampung Pondok pun mengalaminya. Adalah sebuah protes pendiriaan krematorium di Kelurahan Pondok yang berjarak 45 meter dari masjid Muhammadan, Desa Pasar Borong III pada November tahun lalu.
Namun, bersama harmoni, permasalahan tersebut masih terselesaikan dengan jalan damai. “Jalan keluarnya musyarawarah dengan pemangku adat dan pihak terkait,” ujar Muhammad Firdaus (48 th), Wakil Ketua Masjid Muhammadan pada Minggu (8/5). Firdaus mengatakan bahwa protes tersebut tidaklah ingin memicu harmonisasi selama ini, karena warga Desa Pasar Borong III, tidak hanya diisi oleh penganut Islam. Tapi juga ada etnis Tionghoa dengan agamanya.
“Kami hanya tidak setuju, jika jaraknya sedekat itu dengan masjid,” ujar lelaki dengan janggut tersebut. Beberapa warga lelaki Pasar Borong III senada dengan Fidaus. Menggunakan sorban dililitkan ke kepala, dan baju gamis longgar panjang laki-laki. Mereka menamakan dirinya, “Pengikut Cara Dakwah Ala Rasulullah”. Dengan kegiatan rutin setiap Kamis-nya untuk jemaat laki-laki.
Firdaus pun mengatakan, bahwa tak pernah ada sentimen agama di tempat ini. Karena Masjid Muhamaddan sendiri pun dibantu oleh etnis lain nonmuslim, tetangga sebelah rumah mereka. Mereka menerima beras atau lainnya dari etnis Tionghoa. Tak ada keinginan untuk menjadikan masalah tersebut konflik, meski spanduk protes masih terpasang dihembus angin sore itu. “Soal spanduk itu masih terpasang, hanya pengingat moment bagi kami,” ungkap Firdaus. Dan lagi Firdaus mengatakan, bahwa dalam kehidupan beragama Islam mengenal, “Bagiku agamaku dan bagimu agamamu, lalu tak ada masalah bukan?,” tegas Firdaus.
Lahirnya Harmoni
            Jika dari yang terkata diatas berolehlah kita sebuah pemaknaan. Yang bukan hanya karena biasa, hingga biasa, dan konflik pun tak menjadi biasa. Tapi kembali pada hakikat hidup manusia. Manusia yang memilih untuk berbuat baik atau buruk. Ramah sesama, atau merekahkan konflik menjadi bunga kebenciaan dihati. Masyarakat Kelurahan Kampung Pondok bukan karena kebiasaan mereka hingga bisa tetap harmoni. Tapi karena keajengan menjaga pilihan menjadi orang baik, dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi. Karena meski agama berbeda, agama tak pernah mati, layaknya budi baik yang juga tak menemukan tempat terbuangnya hingga akhir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemuda Memberi Tanpa Balas Kasih #PemudaMendesa Yulia Eka Sari for Anti Corrupttion Youth Camp 2017

Memanah Bintang

Kembali ke Desa untuk Mengentas Kemiskinan