Berbagi dan Lewati Masa Tandusmu
![]() |
Google.com |
Dulu pernah suatu masa menjadi waktu-waktu tersulit
saya. Seolah berada di padang tandus, hanya angin gurun yang berhembus.
Sesekali hanya tampak fatamorgana yang memberi harapan. Setelah saya mendekat,
saya tahu bahwa sama saja. Ia tetap padang tandus. Hanya pasir dan angin gurun.
Saya sendiri. Tak ada orang lain. Sebab itu harus kuat dan yakin pada diri
sendiri. Saya lupa pada langit biru. Bahwa ia walaupun tanpa awan cumulus,
hanya samar putih-putih tipis. Lebih tipis dari sirus. Tetapi, adalah ia yang
menciptakan bulir-bulir hujan diatas sana. Yang saya lupa, bahwa ada yang Maha
Kuasa tempat menggantung harapan.
Saya
benar-benar alpa. Alarm tidak hidup pada kelam. Getarnya tidak pernah ditangkap
oleh hati. Sebab ia hanya permainan didepan mata. Tentang canda dan tawa
melihat orang lain gembira. Tentang suka, hingga bisa berjalan beriring. Dan
cinta yang membuat perbedaan terasa harmonis. Mereka tidak pernah sampai pada
hati saya. Saya melihat, saya tidak merasa dan saya tidak peduli. Karena saya
tahu, kehidupan begitu keras.
Begitulah,
langkah-langkah kaki saya semasa SMP dan SMA hanya ditemani oleh sepasang kiri
dan kanan kaki saya. Yang lain tak ada, bahkan tak menjadi bayangan. Kalaupun
ada, mentari selalu pandai untuk menguapkannya. Karena saya tahu hidup terlalu
keras. Dan mereka pun akan tergilas oleh derasnya. Sebab itu, apa gunanya untuk
peduli. Jadi wajar, semasa itu pula saya tidak pernah punya teman akrab, hanya
teman sebangku tempat berbagi rahasia PR. Masa pun menjawab saya, tumbuh
menjadi pribadi yang egois. Percaya selalu bisa hidup sendiri. Kuat dan yakin
pada diri sendiri masih hal yang abadi.
Hingga
tiba, saatnya suatu waktu angin gurun membawa saya pada kumpulan kafilah. Terlalu
lama di gurun membuat saya lupa pada bentuk manusia. Dan samar-samar saya
merasa bukan bagian dari mereka. Tapi yang saya ketahui, naluri saya selalu
benar. Tidak usah untuk menjauh. Karena badai gurun disana terlalu ganas.
Keyakinan diri saya mulai surut. Apakah benar saya dapat mengatasinya sendiri.
Apakah saya dapat berjalan sendiri lagi. Atau mengapa saya bisa dulu bisa
bertahan sendiri di gurun. Sedang mereka, berdua, berempat, berpuluh dengan
manusia. Masih saja tidak yakin. Masih ada takut. Pasti selama ini saya tidak
sendiri, ada tangan gaib diatas sana. Saya pun terus berada dalam kafilah.
Menjejak tapak yang mereka tinggalkan di gurun, melihat fatamorgana yang sama,
menjerit bersama, bekelumun dalam balutan dinginnya malam digurun, bersama. Saya
tinggal, bersama.
Tandus
pun, sedikit-sedikit mulai beranjak. Saya mengenal marah, suka dan cinta. Saya
menjadi manusia, kebanyakan. Saya tidak lagi sendiri. Ada kumpulan ikan teri
yang sama dengan saya. Saya beruntung tidak menjadi paus yang hanya beberapa
dilautan. Sepanjang usia kadang dilewati sendiri.
Kafilah
tersebut saya temui diwaktu gerbang kuliah didepan mata saya. Ketika saya
merasa tidak mampu untuk kuliah, karena kerelaan ayah untuk berujar dengan
lembut, “Akan sulit jika tetap melangkah,” ujarnya. Tapi saya tahu. Lagi-lagi
saya tahu. Bahwa ayah ingin saya memaknainya, “Akan lebih sulit jika tidak
melangkah kan yah,” pikir saya. Saya pun berjalan, melewati beberapa langkah.
Beruntung paman saya membantu dana perkuliahan saya. Dan saya bisa sedikit
lega, kemudian berlari. Paman adalah kepala dari kafilah tersebut.
Pada
pacuan lari berikutnya. Saya dihadapkan dengan kumpulan ikan teri yang lebih
banyak. Diantara mereka ada yang sama dengan teman sekolah saya dulu, suka
tertawa, jalan beriring dan harmonis dalam perbedaan. Intinya mereka bahagia.
Saya melihat, saya peduli dan saya ingin merasa.
Kemudian
saya berhenti pada kilometer dimana kumpulan teri lainnya tengah membagikan
sekumpulan koran. Bukan makanan. Bukan kebahagiaan. Saya mencari kebahagiaan
dan mereka tidak membagikannya. Mereka hanya membagikan koran. Tapi kemudian,
yang menerima koran tertawa cemerlang. Benar, mereka membagikan kebahagiaan.
Walaupun tidak terlihat bahagia. Tapi yang lain, penerima koran, semakin
cemerlang. Mereka seolah orang yang mendapat pencerahan, yakni informasi dari
koran. Saya yakin, inilah kafilah kedua. Saya menetap dan belum berpikir untuk
berlari kembali lagi.
Menuju
kumpulan teri si loper koran, saya melihat cara kerja mereka mengatur agar
orang-orang yang bahagia tadi tertawa dengan cemerlang. Ada sedikit resepnya.
Mereka bekerja keras. Sangat keras. Mereka kadang marah karena sama-sama keras
kepala. Mereka pun larut dalam kesedihan dan sedu sedan, kala satu titik air
mata dari teri temannya jatuh. Mereka ternyata manusia. Manusia yang berbagi
kebahagiaan agar orang lain yang bahagia lebih cemerlang.
Saya
mempelajari resepnya. Saya marah pada mereka, sangat marah, hingga salah satu
kabur karena saya telah menyinggungnya. Saya pun tersedu sedan karena membuat
ia pergi. Saya suka, saya peduli dan saya cinta pada mereka. Perlahan keabadian
menghilang. Saya tidak kuat dan saya tidak yakin pada diri sendiri. Saya ingin
meneruskan lari pada kilometer selanjutnya. Namun, naluri terlalu kuat
menancapkan kaki pada kilometer mereka. Saya pun bertahan. Saya bersama mereka,
ikan teri si loper koran.
Perlahan,
saya mengusap air mata yang tinggal bekas. Saya berjalan bersama teri. Saya
mencoba untuk menerima mereka. Saya adalah teri, si loper koran. Saya
menyaksikan mereka membagikan koran dan mereka tertawa dengan cemerlang.
Dikedalaman gurun, alarm mulai sampai pada hati saya. Saya mendengar dan
terbangun. Saya akan tetap membuat mereka cermelang dan bahagia. Melewati
masa-masa tandus. Alarm kebahagiaan terus berdering. Seiring langkah dan
kemudian saya berlari bersamanya.
Apa
salahnya untuk bahagia? Tidak ada yang salah tentang percaya bahwa diri sendiri
kuat dan percaya terus pada itu. Tapi menyadari bahwa diri sendiri pun lemah,
membuat alarm kebahagian semakin tentram dihati. Apa salahnya mulai berbagi
teman. Tentang masa kelam. Gurun pasir. Mentari yang ganas. Adalah kewajaran
dari masa lalu, untuk menjadi kuat dimasa depan. Apa salahnya berbagi? Saat
tangan sendiri mungkin belum tergapai. Tapi percayalah. Ada tangan-tangan
rahasia yang akan membimbingmu. Tangan-tangan tuhan.*
Komentar
Posting Komentar