QRIS, Satu Qode untuk Banyak Kebaikan
![]() |
Canva.com |
Kebayang
nggak, waktu kamu lagi jalan-jalan, eh tiba-tiba kamu laper. Kebetulan ada
abang cilor lagi jualan. Jajan dong. Namun apa ada, pas ngeliat dompet, kamu
baru ingat belum ngambil uang cash. Mau ke ATM, tapi bermeter-meter, jadi bikin
mager. Yang ada cuma dompet digital di smartphone. Ngeliat kamu yang bingung,
abang cilornya cuma senyum manis sambil nunjukkin QR Code untuk kamu scanner.
Tapi ngeliat QR Code kamu malah jadi baper, takut dompet digitalmu jadi sasaran
cyber digital kayak di China. Ngelihat kamu yang bingung, akhirnya abang
cilornya bilang, “Ini udah pakai QRIS kok, jadi aman dan transkasi lancar,”.
Alhamdulillah, akhirnya lapar kamu terobati, berikut dengan hilangnya baper.
Ilustrasi diatas mungkin saja akan
milenial temui ketika bertemu dengan Pak Cokro, penjual cilor mitra bukalapak
yang sudah menggunakan pembayaran dengan QRIS sejak Juli lalu. Begitu juga
dengan Yoggie, seorang pemilik warung sembako di wilayah Kemang, Jakarta Selatan
yang juga telah menggunakan QRIS untuk transaksi pembayarannya. Atau, banyak
versi lainya dari cerita milenial, baik aku dan kamu yang sangat terbantu
dengan kemudahan dan kenyamanan dalam bertransaksi.
Tapi
kebayang juga nggak, ternyata niat awal
kita para milenial pakai QRIS yang hanya demi kemudahan, serta keinginan untuk
mengamankan dompet digital, juga punya nilai kebaikan dan berdampak positif bagi perekonomian nasional. Nah loh, kok bisa
yah?
Sebelum kita bahas lebih jauh bagaimana
dampak baik penggunaan QRIS untuk perekonomian, yuk kenalan dulu dengan QRIS. Apa sih QRIS yang diomongin sejak tadi? Sama
nggak yah dengan QR Code biasanya?
QRIS atau Quick
Respone Code Indonesia Standar
dikutip dari laman resmi Bank Indonesia, bi.go.id, adalah standar QR untuk pembayaran melalui aplikasi uang
elektronik server based, dompet
elektronik, atau mobile banking. QRIS
sendiri merupakan implementasi dari visi sistem pembayaran Indonesia (SPI)
2025.
Sedangkan QR Code atau Quick
Respon Code adalah kode matriks dua dimensi yang dikembangkan pertama
kali oleh Denso Wave, sebuah perusahaan Jepang tahun 1994. QR Code sendiri bisa
dibilang evolusi dari kode batang yang hanya satu dimensi, dan dibandingkan
kode batang QR code lebih mudah untuk dipindai.
Dari penjelasan diatas QRIS dan QR Code,
bisa kita simpulkan bahwa dua kode tersebut sebenarnya sama. Sama-sama kode
yang sedang muktahir untuk digunakan dalam sistem pembayaran. Namun, jika
sekarang QR Code yang beredar diterbitkan oleh banyak platfrom digital,
seperti OVO, Gopay, DANA, T-Cash, yang
hanya bisa digunakan sesuai dengan jenis dompet digitalnya. Sedang QRIS, adalah
satu kode yang bisa digunakan untuk semua jenis dompet digital. Jadi apapun
jenis dompet digitalmu, akan bisa membayar di QRIS. Menjadi lebih mudah juga
bagi merchant yang tidak repot untuk menyediakan banyak QR Code sesuai dompet
digitalmu.
Masalah Ekonomi
dan Usaha Mencapai Inklusi Keuangan
Namun,
dibalik kemudahan tersebut. Sadarkah kamu bahwa ada tugas besar yang sedang
disasar oleh negara untuk diselesaikan. Salah satunya, penyeteraan ekonomi
masyarakat, pertumbuhan ekonomi dan inklusi keuangan.
Jika kita
melihat pada data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin pada
Maret 2019 sebesar 25,1 juta orang dengan penghasilan perkapita RP 425.250
perbulan. Dimana sebenarnya angka ini
sudah menurun 810 ribu penduduk dibandingkan periode yang sama pada tahun 2018, masih saja
menunjukkan wajah kemiskinan yang besar. Padahal disebagian penduduk lainnya,
sudah melaju pada kemudahan dalam menggunakan uangnya untuk bertransaksi,
sementara sebagian besar lainnya, kebingungan untuk mencari uang yang akan
digunakan dalam bertransaksi tersebut.
Mirisnya,
salah satu faktor penyebab kemiskinan adalah banyak usia produktif yang
menganggur. Sebagai contoh di Kota Banjar, BPS kota Banjar menyebut bahwa
penduduk miskin di kota tersebut umumnya didominasi oleh usia produktif. Kepala
BPS Kota Banjar, Nanang Triono Basuki, saat diwawancara oleh Koran HR pada
Selasa (15/10) sebagaimana dilansir dari kompasiana.com, mengatakan bahwa angka kemiskinan di kota Banjar sebanyak
5,70 persen yang didalamnya termaksud usia produktif. Yakni mereka yang
lulusan SLTA, namun masih menjadi
tanggungan dari keluarganya.
Fakta
pengangguran diusia produktif tersebut, salah satu faktornya bisa disebabkan
oleh tingkat inklusi keuangan Indonesia yang masih rendah. Semisal sebagian
dari penduduk usia produktif tertarik untuk memiliki usaha, namun mereka dibingungkan
dengan modal untuk memulai usaha atau modal untuk mengembangkan usaha.
Salah
satu kunci untuk mengeluarkan UKM dan usia produktif lainnya dari garis
kemiskinan adalah dengan membuat mereka tidak unbankable lagi. Yakni kemudahan untuk mengakses dana yang bisa
digunakan untuk mengembangkan peluang usaha. Kemudahan dalam mengakses dana
ini, bisa disederhanan sebagai inklusi keuangan dan literasi keuangan yang
baik.
Berdasarkan
data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tingkat inklusi keuangan Indonesia saat
ini sebesar 65%, belum bisa mencapai 75% sebagaimana yang ditargetnya. “Sekitar
65% penduduk Indonesia telah terhubung internet. Namun, belum tentu mereka
terkoneksi ke layanan keuangan. Jadi kami ingin meningkatkan akses mereka
terhadap layanan tersebut,” ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida pada acara
Fintect Summit di JCC, Jakarta, Selasa (24/9) sebagaimana dilansir dari
katadata.co.id.
Melihat
cukup besarnya persentase masyarakat yang terhubung internet, pemerintah
Indonesia sendiri sedang berfokus untuk menggunakan fintect sebagai inovasi dalam pemberi pinjaman dana kepada UKM.
Dimana di Indonesia kini terdapat 127 perusahaan fintect lending yang diizinkan oleh
OJK. Selain itu fintect tersebut telah menyalurkan dana sebesar Rp 44,8 Triliun
dengan sekitar 9,74 juta peminjam dan 498.000 pemberi pinjaman. Tentukan kita
berharap angka ini terus meningkat, agar akses modal bagi pelaku usaha kecil
bisa semakin luas, yang berujung pada keluarnya mereka dari garis kemiskinan. Pada
akhirnya semoga kenaikan inklusi
keuangan bisa menaikkan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana menurut Bank Dunia
bahwa peningkatan inklusi keuangan dengan nilai satu persen saja, maka
pertumbuhan ekonomi keuangan bertambah 0,03 persen.
Jika
masalah utama dari memulai usaha dan mengembangkan usaha bagi masyarakat yang
miskin, sudah menemukan titik terang solusinya dari pemerintah dan lembaga
negara. Akhirnya dengan adanya modal mereka bisa membuat dan mengembangkan
beranekaragam produk dan jasa untuk dijual. Sejatinya ada poin yang lebih penting daripada itu. Apalagi kalau
bukan pembeli dari barang dan jasa tersebut. Nah, poin penting ini ditugaskan
kepada masyarakat, khususnya milenial.
Kenapa milenial?
Pertama, Penetrasi Internet. Dari data
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (AAJI), ada 171,17 pengguna
internet pada tahun 2018. “Dari sekmen umur, ternyata dari usia 15-19 tahun
mempunyai penetrasi paling tinggi, mencapai 91%,” ujar Sekjen APJII, Henri
Kasyfi Soematono di Jakarta, Rabu (15/5) sebagaimana dilansir dari detik.com. Usia
lainnya yang merajai posisi teratas adalah usia 20-24 tahun dengan penetrasi
88,5% diikuti dengan kelompok usia 25-29 tahun dengan penetrasi 82,7%.
Hal ini
menjadi sebuah potensi dari milenial atau kelompok orang yang lahir awal tahun
1980 hingga awal 2000 ini, karena poin kunci dari terbukanya ekonomi digital adalah akses masyarakat terhadap
internet. Dari data Bank Indonesia,
pertumbuhan transaksi uang elektronik pada Juli 2019 mencapai 261,2% (yoy). Capaian
ini mengindikasi bahwa preferensi masyarakat terhadap penggunaan uang digital,
terutama milenial yang banyak mengakses terbiasa dengan internet dan ekonomi
digital meluas. Sehingga sebenarnya
milenial menjadi market yang
potensial bagi UMKM.
Kedua, Perilaku milenial. Jika kita
menganalisis perilaku dari milenial. Ada beberapa hal perilaku milenial yang
bisa mendukung pertumbuhan ekonomi. Diantaranya, milenial suka dengan
kenyamanan dan kemudahan dalam bertransaksi. Misalnya, saya saat membeli
makanan lebih memilih untuk menggunakan uang elektronik, begitupun dengan
milenial yang lainnya. Karena alasan tidak repot menunggu kembalian. Dan poin lainnya
yang tidak kalah penting, adalah dengan kemudahan untuk beramal atau berdonasi untuk kemanusiaan
hanya dengan scan QR Code.
Namun, masalahnya milenial juga merupakan generasi
yang sangat cepat beradaptasi dengan teknologi dan menginginkan perbaikan.
Semisal saat saya belanja dengan salah satu dompet digital, tapi tidak ada QR
Code dari dompet digital tersebut. Saya akan lebih memilih untuk tidak jadi
belanja disana, atau kalau mau repot mengisi dulu dompet digital yang sesuai
dengan QR Code. Sungguh tidak efesien dan menyulitkan pedagang juga bukan?
Oleh
sebab itu Hadirnya QRIS atau QR Standar sangat memberikan kenyamanan dalam
bertransaksi milenial. Selain mudah digunakan karena tidak hanya berlaku untuk
salah satu dompet digital, QRIS sebagai QR Standar diterbitkan langsung oleh
Bank Indonesia sebagai lembaga terpercaya negara, sehingga desain dari kertas
QRIS juga lebih baik dibandingkan dengan QR Code lainnya. Hal ini memungkinkan
agar pembeli saat menscan tidak malah terjerumus pada memberikan data dompet
digital pribadi pada perilaku cyber crime.
Selain dengan alasan kemudahan dan
keamanan, pembayaran dengan sistem elektronik juga lebih banyak memberikan
diskon bagi penggunanya.
Selain itu QRIS sebagai
QR Standar yang di launching pada 17 Agustus lalu, dan mulai berlaku efektif
sejak 1 Januari 2020 nanti, disusun oleh Bank Indonesia
dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) dengan menggunakan standar internasional
EMV Co (yang mendukung
interkoneksi instrumen sistem pembayaran lebih luas termasuk
antar Negara, sehingga bisa digunakan diberbagai
negara seperti Korea Selatan dan
Thailand), mengusung semangat UNGGUL yang merupakan akronim dari Universal,
Gampang, Untung dan Langsung. Agar QRIS yang dibuat menjadi pendorong
efisiensi transaksi, mempercepat inklusi keuangan, memajukan UMKM, dan
mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Faktanya, selama masa uji coba, Pak Cokro penjual
Cilor yang dicontokan diatas mengaku penjualannya meningkat setelah menggunakan
QRIS. “Awalnya enggak mau karena enggak tahu caranya, kayaknya ribet pakai itu
(kode QR). Tapi setelah pakai ternyata yang awalanya sehari jualan cilor habis
telur 2 kilo, sekarang menjadi 3 kilo,” kata Cokro, sebagaimana diungkapkan
dalam kompas.com.
Harapannya semoga setelah launching
dan beberapa uji coba sebelumnya, dengan dukungan dari milenial, UMKM yang saat ini
berkontribusi 60% terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) Indonesia
dapat meningkat lagi, seperti meningkatnya penjualan Pak Cokro.
Jadi,
dari paparan diatas, sejatinya kita sedang membangun sebuah siklus membangun perekonomian di Indonesia loh. Dimana perekonomian Indonesia yang
belum merata bisa terbantukan oleh milenial sebagai ujung tombaknya. Jika pada
pada mata rantai pertama pemerintah sudah berusaha untuk menciptakan inklusi
keuangan yang mumpuni untuk menyediakan
akses modal yang lebih luas bagi UMKM. Pada rantai kedua, milenial dengan
menggunakan QRIS memberikan nafas baru bagi pelaku usaha untuk mengembangkan
pendapatannya. Juga mempermudah ketertesediaan database serta kemudahan bagi
pemerintah untuk membaca arus perekonomian Indonesia. Dan poin yang paling
penting adalah milenial, mampu menjadi media
sharing bagi masyarakat lainya, untuk mengutamakan kenyamanan transaksi
tanpa melupakan keamanannya.
Ayo
Milenial #MajukanPerekonomianIndonesia
#QRStandarPembayaranDigitalAlaMilenial
Referensi:
https://katadata.co.id/berita/2019/09/24/ojk-inklusi-keuangan-meningkat-pesat-meski-belum-capai-target-75
https://www.cekaja.com/info/mengenal-inklusi-keuangan-pengertian-manfaat-dan-inovasinya-untuk-negara/
https://ekon.go.id/berita/view/ekonomi-digital-mempercepat.3017.html
https://www.kompasiana.com/tasyaamelia/5daf35510d823031f8576b42/kemiskinan-yang-menyelimuti-usia-produktif
Komentar
Posting Komentar