Mencapai Market Indonesia dengan Perlindungan Konsumen #amanbertransaksi
Masih ingat dengan kata-kata yang sering menjadi tameng oleh masyarakat ketika sedang berbelanja. “Pembeli adalah Raja”. Makna awamnya pembeli harus dilayani selayaknya raja. Kalau dalam jual beli memberikan barang berkualitas, pelayanan terbaik dan harga yang dapat dijangkau, adalah wujud dari melayani pembeli selayaknya raja. Namun bagaimana dengan pembeli di era digital yah? Apalagi pembeli Indonesia?
Sebelumnya yuk kenali dulu, apa itu ekonomi digital?
Ekonomi digital atau bisa dikenal dengan sharing economy ini, membantu usaha kecil dan menengah (UMKM) memasuki bisnis dunia. Gelombang ekonomi digital bisa dikatakan sangat berbeda dengan gelombang ekonomi dulu yang berkarakter ekslusif seperti pertanian, revolusi industri, perburuan minyak hingga memasuki kapitalisme korporasi multinasional, yang hanya dimiliki oleh sebagian orang. Sedangkan ekonomi digital memiliki tipologi landai, inklusif dan membentang ekualitas peluang yang besar. Sehingga memungkinkan UMKM dengan memanfaatkan internet untuk memasuki dunia bisnis dan pasar konsumen.
Ekonomi digital atau bisa dikenal dengan sharing economy ini, membantu usaha kecil dan menengah (UMKM) memasuki bisnis dunia. Gelombang ekonomi digital bisa dikatakan sangat berbeda dengan gelombang ekonomi dulu yang berkarakter ekslusif seperti pertanian, revolusi industri, perburuan minyak hingga memasuki kapitalisme korporasi multinasional, yang hanya dimiliki oleh sebagian orang. Sedangkan ekonomi digital memiliki tipologi landai, inklusif dan membentang ekualitas peluang yang besar. Sehingga memungkinkan UMKM dengan memanfaatkan internet untuk memasuki dunia bisnis dan pasar konsumen.
Ada yang tahu kenapa
Indonesia punya visi untuk menjadi Largest Digital Economy terbesar di
Asia Tenggara dengan pendapatan US$ 130 miliar dan menciptakan 1000 teknopreneur
dengan nilai bisnis US$ 10 miliar pada tahun 2020?
Pertama, dari tahun 1967 hingga 2015, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia selalu berada dikisaran 50-60%
(World Bank). Ditahun 2014, sekitar 53% populasi yang mendiami kota-kota urban di
Indonesia menyumbang 74% PDB. Dengan tingkat pertumbuhan yang tercepat di Asia.

Ketiga, We Are Social menunjukkan bahwa pada 2018, pengguna ponsel cerdas di Indonesia mencapai 67% dari total populasi, atau sekitar 177,9 juta penduduk. Dan 130 dari total populasi Indonesia sebanyak 265,4 juta jiwa, pengguna aktif sosial medianya mencapai 130 juta dengan penetrasi 49% (Essential Insights Into Internet, Social Media, Mobile, and E-Commerce Use Around The Wolrd pada 30 januari 2018).
Keempat, Menurut data
Google & Temasek pada 2017, pembelian produk via e-Commerce di
Indonesia mencapai US$ 10,9 miliar atau sekitar Rp 146,7 triliun, naik 41 persen dari angka US$ 5,5 miliar
atau sekitar Rp 74 triliun pada 2015.
Dengan potensi yang sekian besar, wajar bukan bahwa ekonomi digital yang memberikan kemudahan bertransaksi (hanya dengan klik saja) dan luasnya jangkauan menjadi potensi yang besar bagi perekonomian Indonesia.
Dengan potensi yang sekian besar, wajar bukan bahwa ekonomi digital yang memberikan kemudahan bertransaksi (hanya dengan klik saja) dan luasnya jangkauan menjadi potensi yang besar bagi perekonomian Indonesia.
PEMBELI YANG TIDAK LAGI RAJA
Meskipun market
dari ekonomi digital di Indonesia sangat tinggi, ternyata perlindungan akan
pembeli atau konsumen masih saja belum optimal. Konsumen yang seharusnya
dilayani dengan maksimal malah buntung karena beberapa hal. Berikut contoh
kasusnya:

Pertama, iPhone Sabun di Lazada. Danis Darusman pada 29 Juni 2015 lalu memposting keluhan di Twitter soal pengalamannya berbelanja di situs belanja online Lazada. Ia membeli iPhone 6 Plus dari Lazada, namun ketika barang pesanan sampai yang ia terima adalah sabun batangan mereka Nuvo (liputan6.com).
Pada kasus ini, konsumen memiliki kerentanan dari segi tersedianya informasi terkait produk. Konsumen tidak memiliki kontrol dalam transaksi jual beli tersebut. Hal ini disebabkan karena konsumen membayar produk sebelum sampai kepadanya (tidak CoD). Sehingga lebih rentan akan produk yang tidak sampai, atau produk yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang dipesan melalui situs belanja online.
Kedua, iklan Blackpink Shopee. Baru-baru ini muncul petisi “Hentikan Iklan
Blackpink Shopee” dibuat oleh Maimon Herawati.
Maimon menganggap iklan Shopee yang dibintangi Blackpink sering diputar
saat program anak-anak. Komisi Penyiaran Indonesia akhirnya mengirim surat peringatan
pada sebelas stasiun TV karena dinilai melanggar pasal 9 ayat (1) SPS KPI Tahun
2012 tentang kewajiban program siaran memperhatikan norma kesopanan dan
kesusilaan (tirto.id).
Pada kasus ini kita melihat bagaimana produsen atau pelaku ekonomi digital memandang calon konsumen. Tidak selayaknya informasi terkait produk dipasarkan kepada segmentasi yang salah. Pada kasus ini iklan Shopee tidak hanya bisa diakses oleh remaja dan dewasa, namun juga anak-anak yang notabene masih dalam proses menanamkan nilai dari apa yang mereka lihat. Wajar akhirnya orangtua khawatir.
Pada kasus ini kita melihat bagaimana produsen atau pelaku ekonomi digital memandang calon konsumen. Tidak selayaknya informasi terkait produk dipasarkan kepada segmentasi yang salah. Pada kasus ini iklan Shopee tidak hanya bisa diakses oleh remaja dan dewasa, namun juga anak-anak yang notabene masih dalam proses menanamkan nilai dari apa yang mereka lihat. Wajar akhirnya orangtua khawatir.
Dua kasus diatas hanya
sebagian dari banyaknya aduan terkait ekonomi digital. Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat jumlah aduan konsumen selama 2017, belanja online menduduki
peringkat pertama dengan menyumbang terbesar 16% atau 101 aduan. Angka ini naik
7% dari 2016 yang hanya 9%. Dari 101
aduan, sebanyak 44% konsumen mengeluhkan lambannya respon komplain, 11% aduan
adanya penipuan dan 8% dugaan kejahatan siber. Sedangkan peringkat kedua adalah
layanan perbankan sebanyak 643 aduan
atau 13 %, diikuti dengan perumahan 9%, telekomunikasi 9%, listrik 8%, leasing
6%, paket 6%, transportasi 5%, otomotif dan TV kabel 2% (kumparan.com).
MENJADI KONSUMEN CERDAS DITENGAH BANYAKNYA ANCAMAN
![]() | |
Klik Pintar dalam Ekonomi Digital. P/Pixabay |
Data dari The Global
Cybersecurity Index 2017 yang dirilis The UN Internasional Telecommunication
Union (ITU), menyatakan Indonesia termaksud salah
satu negara dengan keamanan siber terendah dan seringkali terkena sasaran
setiap saat. Catatan Indonesia Security Incident Response Team on Intenet Infrastucture
(ID-SIRTII) sejak Januari hingga Juli 2017 terdapat 117,3 juta serangan siber
yang masuk ke Indonesia. Dalam satu hari bisa tedapat 836.200 serangan siber yang
umumnya dilancarkan dalam bentuk fraud dan
malware (kompas, 2017). Selain itu 60%
kejahatan siber di indonesia dalam bidang perbankan dilakukan oleh orang dalam (internal attack) dilansir dari Warta
Ekonomi 2016.
Hal
tersebut jelas menjadi ancaman bagi konsumen di Indonesia. Kekhawatiran akan
penipuan dan pencurian data pribadi bisa membuat konsumen tidak #amanbertransaksi.
Apalagi menurut Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, “Literasi konsumen terkait digital itu
masih rendah, sehingga ketidakpahaman literasi, konsumen tidak memahami
persoalan-persoalan teknis di dalam masalah itu. Harusnya masyarakat lebih
cerdas karena berinteraksi dengan digital dan finansial,” dilansir dari liputan6.com.
Pertama, kenali teknik kejahatan yang biasa dipakai. Diantaranya ada 1) Spamming adalah ajakan untuk mengklik
suatu link dengan pesan-pesan menarik; 2) Phising adalah kelanjutan dari
spamming, setelah mengklik link, mereka akan mengambil data pribadi, data ATM,
dll; 3) Carding, setelah datamu dicuri, pelaku atau clader akan menggunakannya
untuk membobol kartu kreditmu dan
mengurasnya sampai habis; 4) Malware adalah program berisi kode berbahaya; 5) Hacking, menyusupi sistem dan mencuri data pribadi; 6) Skimming adalah pencurian informasi kartu kredit atau debit degan
menyalin informasi yang terdapat pada stip magnetik kartu secara ilegal.
Kedua, Amankan Data Pribadi. Setelah kamu mengenali teknik kejahatan yang biasa
digunakan. Amankan data pribadimu semisal terkait dengan spamming, phising, dan
carding, jangan klik situs yang tidak jelas, membatasi tempat transaksi
(laptop, smartphone) dan gunakan data pribadi. Sedangkan untuk skimming,
gantilah ATM-mu dengan yang menggunakan chip sehingga lebih aman, perhatikan
kondisi mesin ATM, apakah terdapat ciri-ciri pemasangan benda, tergores atau
tidak, selalu cek saldo akunmu, ganti pinmu secara berkala dengan kode acak,
dan simpan nomor call certer bank.
![]() |
Yuk Tambah Wawasanmu |
Keempat, tertipu saat belanja online segera laporkan. Melalui kredibel.co.id untuk melihat riwayat dari situs belanja online yang kamu tuju; lapor.go.id untuk melaporkan kejahatan atau penipuan online; cekrekening.id untuk mengecek database rekening yang diduga terindikasi tindak pidana atau langsung lapor ke polisi. Sebelumnya usahakan untuk mengutamakan CoD atau menggunakan jasa pihak ketiga dalam pembayaran seperti rekening bersama, sehingga lebih aman dari penipuan.
Kelima, tambah wawasanmu mengenai ekonomi digital. Salah satunya kamu bisa membaca seri buku literasi
digital yang disediakan oleh literasidigital.id dan video literasi dan
sosialisasi yang disediakan oleh Bank Indonesia berikut.
DIBARENGI DENGAN UPAYA PEMERINTAH
![]() |
Visi Ekonomi Digital Indonesia (sumber Kementrian Komunikasi dan Informatika) |
Sebagai rumah dari 265 juta konsumen, Indonesia merupakan pasar yang menjanjikan bagi perkembangan ekonomi digital baik dalam dan luar negeri. Pola belanja konsumen Indonesia dengan dukungan akses internet, sudah menggunakan ekonomi digital sebagai pemenuh kebutuhan sangan, papannya. Namun dibalik itu, pelaksanaan Undang-Undang terkait dengan perlindungan konsumen masih berada dalam status "Pemadan api bukan pencegah terjadinya kebakaran".
Undang-Undang No 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan PP 57 tahun 2002 tentang Badan
Perlindungan Konsumen Nasional, memang sudah mengatur secara komprehensif
tanggungjawab, hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha serta peran edukasi
dan penyelesaian sengketa konsumen oleh lembaga perlindungan konsumen. Namun, tingkat
kepercayaan, tingkat kesadaran, pengaduan
tentang hak-haknya dan keberadaan lembaga perlindungan konsumen masih rendah di Indonesia
dibandingkan dengan Uni Eropa dan Korea (Robert, 2017).
Terlihat dari
banyaknya jumlah aduan diatas yang secara tidaka langsung menunjukkan kerentanan-kerentanan konsumen dalam transaksi online. Baik berupa aspek
individual maupun eksternal terkait dengan penyediaan informasi. Semisal, kerentanan akan penipuan lebih sering terjadi karena konsumen tidak memilki
akses yang layak pada produk yang akan dibelinya. Hal ini bisa disebabkan oleh
minimnya informasi yang bisa dicari oleh konsumen maupun minimnya literasi
digital.
Pada intinya,
ketidakmampuan konsumen dalam mengontrol transaksi jual beli, bisa menjadi pengalaman
yang menakutkan hingga memungkinkan konsumen untuk beralih kepada ekonomi konvensional kembali. Apalagi
jika, konsumen tidak segera memperoleh jawaban dari komplain yang diajukan atas
kejahatan dalam ekonomi digital.
Oleh sebab itu perlu adanya, pertama, ketegasan undang-undang dalam
mengatur pelayanan pengaduan konsumen, sehingga tidak muncul kasus-kasus
penipuan yang sama berulang-ulang. Kedua,
kecepatan dalam proses pengaduan membutuhkan sinergi dari YLKI, Otoritas Jasa
Keuangan, Kementrian Informasi, Bank Indonesia dan lembaga terkait. Ketiga, perlu adanya safe harbour (tanggung jawab
terpisah antara penyedia situs jual beli daring berkonsep marketplace
dengan penjual yang memakai jasa mereka). Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Presiden Republik
Indonesia, Joko Widodo dalam
Bali Fintech Agenda. Sehingga
akan jelas standar hukum yang akan digunakan oleh masing-masing pelaku usaha,
serta jelas juga pelindungan konsumen yang dibutuhkan dimasing-masingya.
Keempat, memperkuat keamanan siber Indonesia yang berorientasi pada
perlindungan data pribadi konsumen dan memblokir situs-situs
ilegal. Kelima, pemberian edukasi bagi pelaku usaha dalam membuat segmentasi
pasar yang tepat sehingga menyasar konsumen yang tepat pula.
Pada akhirnya,
diperlukan edukasi bersama dari semua pihak yang terlibat dengan ekonomi
digital dan perlindungan konsumen, apakah lembaga pemerintah, yayasan, pelaku
usaha, konsumen maupun masyarakat untuk sadar bahwa keamanan transaksi berarti
menjamin untuk setia meletakkan posisi konsumen sebagai raja, dalam artian
memberikan layanan yang terbaik, sehingga visi indonesia dapat tercapai.
Demi Perlindungan Konsumen #amanbertransaksi
Referensi:
Badan
Penelitian dan Pengembangan SDM, Kementrian Komunikasi dan Informatika. 2017. “Studi
Ekonomi Digital di Indonesia Sebagai Pendorong Utama Pembentukan Industri
Digital Masa Depan. Kominfo.
Darmayanti,
Azrina. “Siberpedia Panduan Pintar Keamanan Siber”. CFDS, Ciber Kreasi dan ICT
Watch.
Robert,
Joseph. 2017. “Kerentanan Konsumen: Landasan Konseptual dan Refleksi bagi
Kebijakan Perlindungan Konsumen di Indonesia” dalam Makalah Diskusi KRKK No. 01
U,
Donny dan Indriyatno Banyumurti. 2018. “Keamanan
Siber untuk E-Commerce”. Seri Literasi Digital Kominfo.
Komentar
Posting Komentar