Korupsi, Budaya yang dibayar Mahal to CJ




 “Kenapa orang Indonesia selalu mempromosikan batik, reog? Kok korupsi gak? Padahal korupsilah budaya kita paling mahal,” Sujiwo Tejo, Pelukis, Wartawan, Budayawan dan Seniman Indonesia.




            Seorang seniman Indonesia, Sujiwo Tejo pernah berkata, bahwa korupsi adalah budaya Indonesia yang paling mahal. Selain mahal, korupsi juga budaya yang tidak perlu dipromosikan, karena terkenal dengan sendirinya ke seluruh rakyat dan negara tetangga. Korupsi bisa diibaratkan dengan budaya yang telah membudaya di Indonesia sampai ke akar-akarnya. Tidak sebagai tulang dalam daging lagi, namun telah menjadi daging dalam  daging. Sehingga mungkin tidak bisa dicabut lagi.
            Sejatinya korupsi yang secara bahasa di defenisikan sebagai tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak, tidak hanya dibebankan kepada pejabat publik saja. Tapi dini hari, telah berkembang menjadi defenisi yang lebih luas dalam kehidupan bermasyarakat.
            Tidak hanya mereka yang melakukan penyelewengan uang negara dalam jumlah besar saja yang dikatakan sebagai koruptor dan melakukan tidak koruspi. Seperti yang dilakukan oleh  Edy Tansil yang merugikan negara  sebesar 1,5 T, kasus KTP E-lektronik yang merugikan negara Rp 2,3 T dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan negara sebesar Rp 3,7 T. Tapi tindakan seperti datang terlambat juga dinamai masyarakat sebagai korupsi, yakni korupsi waktu.
            Biasanya korupsi waktu sering disebut dalam kalangan pendidikan. Dimana jika da seseorang dosen, atau guru yang terlambat datang mengajar maka disebut sebagai korupsi waktu. Memang miris sekali jika kita mendengar anak-anak seusia SD sudah pandai medefenisikan bahwa gurunya korupsi waktu. Jika demikina yang dilakukan oleh gurunya, secara tidak langsung tentunya akan menjadi contoh bagi muridnya. Bukankah guru adalah cerminan bagaimana muridnya dimasa mendatang. Dan malangnya ini terjadi di negeri kita dan sudah dianggap sebagai hal yang biasa.
            Lain lagi di SD, lain lagi di pendidikan tinggi seperti jenjang perkuliahan. Dilingkungan universitas, korupsi waktu seakan memiliki kesepakatan akademis diantara kedua belah pihak. Dimana, umumnya diawal perkuliahan, dosen selalu mengatakan bahwa ia tidak bisa masuk tepat waktu karena alasan, bla, bla dan bla yang kemudian berujung bahwa waktu masuk perkuliahan ditunda hingga pukul sekian dan sekian yang tidak sesuai dengan jam yang diterapkan dalam absen. Sayangnya, kedua belah pihak sepakat dengan tersenyum bahagia. Dosen bahagia, karena alasannya diterima, sementara mahasiswa berbahagia karena waktu yang masuk diulur lebih lambat.
            Itulah praktik korupsi kecil dilingkungan pendidikan yang saya rasakan dan sebagian besar masyarakat Indonesia rasakan. Korupsi disini memang tidak sesuai dengan defenisi bahasa bakunya. Namun yang wajib diingat bukan kesalahan defenisi yang terjadi atau kesalahan penyebutan defenisi waktu yang dilakukan oleh masyarakat. Dibanding mereka menyebutkan kalau dosen dan gurunya sering terlambat dan selalu masuk telat. Mereka lebih senang menggunakan sentilan, koruspi waktu. Mengapa? Karena masyarakat sudah sangat kenal dengan kata korupsi yang menjadi budaya Indonesia yang mahal ini. Ini bukti bahwa korupsi sudah menjadi istilah keseharian dalam masyarakat.
            Contoh diatas bisa dibilang sebagai dampak korupsi terhadap karakter bangsa dari segi tindakan yang ada. Contoh lainnya, dari segi penyelewengan sumber dana publik dilingkungan kampus. Lebih spesifiknya ini terjadi dalam keorganisasisaan mahasiswa di universitas. Dimana umumnya, setiap ada acara yang  termaksud sebagai program kerja didanai oleh univeristas dengan uang publik, selalu ada terselip korupsi didalamnya. Umumnya yang terjadi adalah mark up anggaran yang digunakan dalam Laporan Pertanggungjawaban. Minsalnya jika harga kertas HVS satu rim adalah Rp 33.000,. bisa saja dibuat Rp. 40.000,- demi menyesuaikan dengan anggaran program kerja diawal yang umumnya dibuat lebih besar dari kemungkinan yang terpakai. Selsih yang Rp 7.000,- dihitung oleh organisasi sebagai laba. Memang jumlah yang kecil, namun jika dalam jumlah banyak akan menjadi jumlah yang banyak pula.
            Terkait Laporan Pertanggungjawaban ini pun, mereka tidak hanya atas inisiatif sendiri melakukannya, atau dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Namun, umumnya pihak keuangan univeristas dan yang terkait dengan masalah keuangan sudah mengaggap ini sebagai rahasia umum. Dan tidak hanya berlaku di universitas, praktek yang sama pun berlaku di beberapa dinas pemerintah. Bukan hal yang tabu lagi bagi orang yang dianggap dewasa untuk melakukan penyeleweangan ini. Lalu apa yang akan terjadi pada generasi bangsa kedepannya?
            Jika seperti itu lakon yang dilakukan oleh mahasiswa. Maka kita harus mewajari juga jika hal tersebut juga terjadi dikalangan terdidik yang jauh dibawahnya. Jangan salahkan mereka, adik, anak, cucu kita yang meminta uang jalan ketika diminta tolong membeli sesuatu. Atau  ringkasnya mereka mengatakan harga barang yang tidak sebenarnya kepada kita. Bagaimana akan menyalahkan, jika orang dewasa saja sudah meganggap bahwa korupsi itu rasional. Sebab  demikian, sudah seharusnya orang dewasa terlebih dahulu yang berbenah. Kembali pada anggapan bahwa tidak ada rasionlaisasi untuk korupsi. Tidak ada rahasia umum untuk korupsi. Dan korupsi adalah hal tabu yang ada dimasyarakat. Hal ini agar, tidak ada lagi Sujiwo lainnya yang kembali berkata bahawa korupsi adalah budaya mahala yang harus kita bayar  dengan karakter generasi bangsa kedepannya. 

Notes:
Kasih notes dikit yah. Kalo ini artikel adalah bagian dari seleksi Citizen Jurnalism Anti Korupsi with KPK RI di Koto Gadang, tanggalnya kalo nggak salah 10-13 deh...  







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemuda Memberi Tanpa Balas Kasih #PemudaMendesa Yulia Eka Sari for Anti Corrupttion Youth Camp 2017

Memanah Bintang

Kembali ke Desa untuk Mengentas Kemiskinan