Hanya Amai, Kemana Rohana Kudus Kini
Sudah
88 tahun Rohana Kudus berpulang dari
Ranah Minang. Kini hanya tinggal amai-amai Koto Gadang yang setia tanpa
generasi penerus.
![]() |
Wawancara: Mahnidar
(72), pengurus Yayasan Amai Setia tengah diwawancarai oleh salah satu peserta
Workshop Antikorupsi KPK RI di Yayasan Amai Setia, Koto Gadang, Sumatra Barat,
Sabtu (11/11). f/Eka
|
Kedua belah pagar besi itu tampak
terbuka. Dari kejauhan pejalan kaki yang melewatinya sudah bisa mengira bahwa yayasan
yang dipagari oleh dinding putih tersebut sudah masuk jam buka. Tepatnya pukul 10.00 WIB pagi.
Bangunan yayasan berwarna krem yang
terletak di Koto Gadang, IV Koto, Agam, Sumatra Barat memang menjadi salah satu
ikon bukan saja di nagari tapi juga di ranah Minang. Pasalnya bangunan tersebut
dijadikan pusat sovenir kerajinan perak, sulaman, songket, renda dan sebagainya
untuk wisatawan. Pusat souvenir itu disebut Kerajinan Amai Setia yang berdiri
pada 1915.
![]() | ||
Rohana Kudus |
Menurut Mahnidar (72) selaku
pengurus Kerajinan Amai Setia, Yayasan Amai Setia didirikan Rohana Kudus. Sosok
Rohana Kudus adalah salah satu tokoh nasional yang lahir di Koto Gadang, dan
juga wartawan wanita pertama Sumatra yang menerbitkan majalah Sunting Melayu.
Dalam budaya Minangkabau sebutan Amai sama dengan panggilan untuk ibu-ibu
di Nagari Koto Gadang.
Dulunya, kehadiran Amai Setia,
berawal dari Rohana Kudus mengumpulkan amai-amai
Koto Gadang untuk belajar menyulam dibagunanan tersebut.
Hal itu dilakukan Rohana Kudus karena
kepeduliaannya pada perekonomian masyarakat Koto Gadang yang sebagian besar
bertani. “Sejak adanya sulaman ibu-ibu mulai bisa membantu ekonomi
keluarganya,” tambahnya.
Kepedulian Rohana Kudus, masih
dirasakan hingga kini saat Amai Setia menginjak usia 102 tahun. Dalam
perjalanan waktu tersebut Amai Setia dihadapkan pada kurangnya generasi penerus. “Setiap rumah pasti ada
orang yang bisa menyulam, tapi mereka hanya sekedar bisa saja, tidak membuatnya
lagi. Terutama anak-anak mungkin karena pengaruh hp sekarang,” ujar Ratna
Gustini (50), karyawan Yayasan Amai Setia.
![]() |
Renda (google.com) |
Ratna yang tengah membuat renda
ketika ditemui di yayasan oleh penulis mengakui meski harga jual dari sulaman
itu tinggi, tapi tetap tidak mencukupi kebutuhan. Sulaman Koto Gadang yang
terdiri dari dua jenis, yaitu Sulaman Suji Cair dan Sulaman Kapalo Samek dijual
dengan harga Rp 1,5 juta sampai Rp 4,5 juta. “Harganya memang jutaan, tapi
kalau dibagi menjadi enam bulan, berapalah penghasilan mereka,” tutur Ratna.
Hal tersebut pun dikeluhkan oleh
pengrajin, yakni Wisna Susanti (30) yang sebelumnya bermata pencaharian sebagai
pembuat renda. Penghasilan yang diperoleh dari satu renda hanya Rp 250 ribu dengan waktu pengerjaan empat hari.
Uang tersebut, tidak bisa memenuhi kebutuhannya sehingga ia beralih profesi,
“Biasanya merendo tapi sekarang lebih
enak jualan.,” tuturnya sembari membungkuskan beberapa Roti Goreng pesanan pembeli.
Menanggapi permasalahan tersebut, Vivi
Susanti (32), Kassi Perencanaan Nagari Koto Gadang mengatakan bahwa permasalahan
tersebut sudah diketahui oleh nagari. “Dalam perencanaan kami akan ada
pelatihan dan bantuan dana untuk home
industry, namun masih perencanaan,”
ujar Vivi, Sabtu (11/2017).
Hingga kini, Vivi mengakui belum
ada langkah dari nagari untuk membudayakan hal tersebut. “Tapi saya masih
berharap agar pemuda-pemuda, tidak hanya Amai Setia saja yang membantu untuk
mempertahankan budaya kita,” harapnya siang itu didalam Kantor Walinagari Koto
Gadang.
Diluar kantor, angin berhembus di Koto
Gadang mungkin mengaminkan harapan Vivi dan amai-amai
Koto Gadang lainnya. Agar lahir lagi Rohana Kudus dan pengganti amai-amai berikutnya yang peduli pada
masyarakat sekitarnya.
Komentar
Posting Komentar